12/12/2008

TAN MALAKA


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir Nagari Pandam 

Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 - wafat Jawa Timur, 21 Februari 

1949 [1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang 

pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang 

militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran 

yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan 

Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh 

revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun 

pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. 

Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan 

kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar 

Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh 

penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas 

disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam 

membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti 

penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi 

nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) 

Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan 

modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini juga adalah orang yang mendalangi terjadinya pergolakan sosial di 

wilayah Surakarta setelah pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang 

berakibat hilangnya status Daerah Istimewa bagi bekas wilayah Kasunanan 

Surakarta dan Praja Mangkunagaran.Riwayat
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah 

perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan 

perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal 

pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun 

ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan 

partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, 

Moskwa dan Belanda.Perjuangan

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan 

semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak 

mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi 

dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam 

pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu 

pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI 

(Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta 

ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, 

jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang 

pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi 

pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah 

sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan 

alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan 

mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, 

bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan 

kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk 

perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk 

mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan 

sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin 

besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat 

Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan 

ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia 

Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran 

sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat 

melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua 

gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan 

simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan 

diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan 

revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia 

tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik 

tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan 

partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan 

pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis 

Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di 

kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian 

tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di 

PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab 

yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya 

memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, 

Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat 

bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu 

itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil 

di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak 

penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik 

ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang 

dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh 

Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan 

mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang 

sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama 

bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan 

beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan 

Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai 

Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis 

"Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual 

di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di 

Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik 

Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington 

merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau 

Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina 

pecah…."Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu 

bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan 

urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah 

fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang 

pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. 

Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif 

sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah 

bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika 

fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu 

pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat 

menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. 

Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, 

sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara 

tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara 

berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia 

cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang 

kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai 

kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan 

benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, 

sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.Pahlawan

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan 

Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah 

diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di 

Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka 

dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia 

akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari 

hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan 

Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, 

mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela 

Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut 

terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang 

menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas 

perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia 

Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa 

Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa 

Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden 

Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan 

kemerdekaan Nasional.

[sunting]
Tan Malaka dalam fiksi

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama 

beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan 

petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan 

kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena 

kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan 

polisi rahasia internasional.

Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona 

yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah 

sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, 

yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.

Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI 

dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), 

Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan 

Soebakat (Soe Beng Kiat).

Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, 

terutama di Sumatera.

Beberapa judul kisah Patjar Merah:
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)

[sunting]
Buku
 
Dari Pendjara ke Pendjara
Menuju Republik Indonesia
Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
Madilog
Gerpolek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN