12/12/2008

BUNG HATTA


Sang Proklamator

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota 

kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. 

Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. 

Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki 

satu-satunya.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak 

tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong 

Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan 

Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan 

bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota 

maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya 

mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin 

selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge 

School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 

1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. 

Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti 

nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit 

secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah 

ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 

1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi 

pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. 

Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum 

administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang 

besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua 

PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato 

inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en 

Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. 

Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk 

landasan kebijaksanaan non-kooperatif. 

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. 

Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa 

menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di 

Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik 

Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional 

yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres 

intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, 

hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta 

memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di 

Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui 

oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda 

ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi 

internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga 

Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional 

yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta 

berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan 

Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di 

Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), 

dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis 

sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah 

bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, 

Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence 

(Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). 

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid 

Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 

Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari 

segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato 

pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan 

nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia 

sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan 

karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia 

merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda 

dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, 

kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi 

untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama 

pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. 

Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya. 

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya 

oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke 

Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang 

berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 

Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah 

Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional 

Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan 

kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari 

kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor 

Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke 

Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan 

Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis 

Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven 

Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan 

dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari 

dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan 

dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan 

dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk 

pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang 

besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk 

menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat 

kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan 

dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh 

buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan 

demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran 

kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan 

filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan 

dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan 

"Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan 

bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada 

Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto 

Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir 

dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada 

anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain. 

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada 

tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan 

pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. 

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai 

penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, 

dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan 

harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan 

menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman 

Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh 

Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang 

yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? 

Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, 

yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang 

diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 

Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia 

terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak 

ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. 

Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam 

lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan 

Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya 

terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau 

Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 

mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, 

sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia 

kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, 

dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks 

proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang 

ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang 

didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang 

tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua 

orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan 

bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno 

dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di 

Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik 

Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik 

Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil 

Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda 

yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari 

Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan 

Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan 

kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India 

menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot 

bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi 

Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru 

berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada 

PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI 

melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi 

kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan 

Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di 

mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan 

bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi 

Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan 

Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia 

Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik 

Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan 

ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis 

berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia 

juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam 

konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato 

radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas 

Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia 

diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di 

Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan 

dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan 

konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai 

Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui 

sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan 

kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh 

Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada 

tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden 

RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada 

pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu 

Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di 

Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang 

berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa 

gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas 

Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu 

politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan 

gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia 

memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan 

Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji 

Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan 

pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan 

sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa 

Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu 

Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang 

tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua 

dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran 

dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung 

Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik 

Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. 
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik 

Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto 

Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir 

pada tanggal 15 Maret 1980.
Sang Proklamator

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota 

kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. 

Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. 

Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki 

satu-satunya.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak 

tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong 

Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan 

Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan 

bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota 

maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya 

mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin 

selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge 

School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 

1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. 

Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti 

nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit 

secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah 

ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 

1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi 

pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. 

Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum 

administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang 

besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua 

PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato 

inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en 

Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. 

Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk 

landasan kebijaksanaan non-kooperatif. 

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. 

Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa 

menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di 

Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik 

Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional 

yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres 

intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, 

hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta 

memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di 

Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui 

oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda 

ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi 

internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga 

Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional 

yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta 

berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan 

Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di 

Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), 

dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis 

sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah 

bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, 

Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence 

(Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). 

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid 

Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 

Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari 

segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato 

pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan 

nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia 

sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan 

karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia 

merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda 

dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, 

kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi 

untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama 

pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. 

Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya. 

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya 

oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke 

Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang 

berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 

Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah 

Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional 

Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan 

kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari 

kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor 

Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke 

Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan 

Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis 

Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven 

Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan 

dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari 

dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan 

dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan 

dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk 

pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang 

besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk 

menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat 

kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan 

dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh 

buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan 

demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran 

kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan 

filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan 

dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan 

"Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan 

bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada 

Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto 

Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir 

dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada 

anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain. 

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada 

tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan 

pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. 

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai 

penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, 

dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan 

harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan 

menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman 

Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh 

Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang 

yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? 

Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, 

yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang 

diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 

Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia 

terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak 

ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. 

Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam 

lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan 

Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya 

terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau 

Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 

mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, 

sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia 

kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, 

dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks 

proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang 

ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang 

didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang 

tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua 

orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan 

bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno 

dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di 

Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik 

Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik 

Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil 

Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda 

yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari 

Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan 

Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan 

kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India 

menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot 

bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi 

Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru 

berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada 

PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI 

melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi 

kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan 

Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di 

mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan 

bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi 

Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan 

Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia 

Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik 

Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan 

ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis 

berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia 

juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam 

konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato 

radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas 

Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia 

diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di 

Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan 

dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan 

konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai 

Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui 

sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan 

kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh 

Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada 

tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden 

RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada 

pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu 

Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di 

Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang 

berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa 

gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas 

Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu 

politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan 

gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia 

memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan 

Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji 

Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan 

pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan 

sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa 

Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu 

Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang 

tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua 

dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran 

dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung 

Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik 

Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. 
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik 

Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto 

Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir 

pada tanggal 15 Maret 1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN