12/12/2008

CAK MUNIR


Nama:
Munir, SH
Lahir:
Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965
Meninggal:
Amesterdam, 7 September 2004
Agama:
Islam
Isteri:
Suciwati
Anak:
Soultan Alif Allend (12 Oktober 1998)
Diva (2 tahun)
Ibu:
Ny Jamilah
Jabatan Terakhir:
Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial
Pendidikan:
S1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1990

Karir:
= Karyawan perusahaan persewaan sound system dan penjualan alat elektronik
= Sukarelawan LBH Surabaya (1989)
= Ketua LBH Surabaya Pos Malang (1991)
= Koordinator Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya 

(1992-1993)
= Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
= Direktur LBH Semarang (1996)
= Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
= Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
= Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998)
= Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak 

Kekerasan (Kontras) (16 April 1998-2001)
= Ketua Dewan Pengurus Kontras (2001)
= Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial 

(2004)

Organisasi:
= Sekretaris Al-Irsyad Kebupaten Malang (1998)
= Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa FH Universitas Brawijaya (1988)
= Ketua Senat Mahasiswa FH Universitas Brawijaya (1989)
= Anggota HMI
= Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah
= Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai

Penghargaan:
= Satu orang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru oleh 

Majalah Asiaweek (Oktober 1999)
= Right Livelihood Award 2000 di Swedia (Pengabdian di bidang HAM dan kontrol 

terhadap militer di Indonesia (8 Desember 2000)
= Man of The Year versi majalah Ummat (1998)

Alamat Rumah:
Jalan Cendana XII No.12, Jakasampurna Permai, Bekasi Barat

Alamat Kantor:
Kontras: Jalan Borobudur No.14, Jakarta Pusat
YLBHI: Jalan Diponegoro No.74, Jakarta PusatSi Pahlawan Orang Hilang


Mantan Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak 

Kekerasan) ini pantas dijuluki sebagai pahlawan orang hilang. Dia seorang 

pejuang HAM sejati yang gigih dan berani. Keberaniannya jauh melampaui sosok 

pisiknya yang kerempeng. Namun, sayang, Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau 

Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial kelahiran Malang 8 Desember 1965 ini, 

wafat dalam usia relatif muda, 39 tahun, dalam penerbangan menuju Amsterdam, 

7 September 2004.


Pada 6 September 2004, isterinya Suciwati dan anaknya Soultan Alif Allend 

melepas Munir menuju Amsterdam (Belanda) untuk melanjutkan studi program 

master (S2) di Universitas Utrecht, Belanda. Alumni Fakultas Hukum 

Universitas Brawijaya ini, sekitar pukul 21.55 WIB, naik Garuda Indonesia 

GA-974 menuju Singapura untuk kemudian transit terbang ke Amsterdam. Tiba di 

Singapura pukul 00.40 waktu Singapura, kemudian pukul pukul 01.50 waktu 

Singapura take off menuju Amsterdam. 


Menurut sumber Tokoh Indonesia di PT Garuda Indonesia, tiga jam setelah 

pesawat GA-974 take off dari Singapura, supervisor awak kabin bernama Najib 

melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama 

Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke 

toilet. Pilot meminta Najib terus memonitor kondisi Munir. Munir pun 

dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi 

dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh 

waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 

waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah 

meninggal dunia.

Pejuang hak asasi manusia (HAM) itu, pergi untuk selama-lamanya. Bangsa ini 

kehilangan seorang tokoh muda yang dikenal gigih membela kebenaran sejak Pak 

Harto masih berkuasa. Kematian pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban 

Tindak Kekerasan (Kontras), itu pun segera mendapat perhatian amat luas di 

Indonesia. Banyak SMS dan telepon ke berbagai media menanyakan kebenaran 

berita duka itu. 


Sejumlah orang terkejut dan bersedih. Mereka berdatangan ke rumah almarhum 

yang tampak sederhana di Jalan Cendana XII No.12 Jakasampurna Permai, Bekasi 

Barat. Di antaranya, para aktivis LSM, Munarman (YLBHI), dan Smita 

Notosusanto (Cetro) serta para keluarga korban pelanggaran HAM Semanggi I-II, 

Trisakti, Mei 98, dan Tanjung Priok. 


Pejuang HAM yang sempat bekerja di sebuah perusahaan persewaan soud system 

dan menjual alat-alat elktronik, itu sejak mahasiswa terkenal keras hati. 

Sebelum menyelesaikan studinya di FH Universitas Brawidjaja (1990) sudah 

aktif sebagai sukarelawan LBH Surabaya (1989). Kemudian menjadi anggota LBH 

dan menjabat Ketua LBH Surabaya Pos Malang (1991). Lalu menjabat Koordinator 

Divisi Pembunuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993) dan 

Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995).

Sebelum hijrah ke Jakarta menjabat Sekretaris Bidang Operasional YLBHI 

(1996), dia lebih dulu menjabat Direktur LBH Semarang (1996). Kemudian di 

YLBHI dia menjabat Wakil Ketua Bidang Operasional (1997) dan Wakil Ketua 

Dewan Pengurus YLBHI (1998). Sampai kemudian dia mendirikan dan menjabat 

Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak 

Kekerasan (Kontras) (16 April 1998-2001) dan Ketua Dewan Pengurus Kontras 

(2001).

Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang 

bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela 

para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah 

Pak Harto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus 

(waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar. 

Dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000) sebuah 

penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif. Sebelumnya, 

Majalah Asiaweek (Oktober 1999) menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 

pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi 

majalah Ummat (1998). Ia mendapat hadiah uang dari Yayasan The Right 

Livelihood Award sebesar Rp 500 juta. Separoh dari hadiah itu diberikan ke 

Kontras dan sebagian lagi dikirim kepada ibunya di Malang untuk renovasi 

rumah. 

Sementara, kendati namanya sudah mendunia, Munir tetap hidup bersahaja. 

Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial 

(2004), ini tinggal di rumah sederhana dan ke mana-mana naik sepeda motor. 

Sekali waktu motornya pernah dicuri. Padahal ia pun sering mendapat ancaman. 

Saat membongkar kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, ia pun diancam akan 

dijadikan sosis oleh orang yang mengaku aparat keamanan. Begitu pula ketika 

dia membongkar kasus penculikan aktivis mahasiswa pada akhir kekuasaan 

Soeharto. Bahkan rumah ibunya pun (Ny Jamilah, 78) pernah diancam bom. Dia 

juga pernah diisukan anak Gerwani oleh sebuah majalah. Majalah itu kemudian 

minta maaf. 


Munir merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Di kalangan keluarga, 

teman dekat dan tetangganya, dia dikenal sebagai orang yang memiliki 

kepedulian sosial. “Sejak mengenyam pendidikan di SD Muhammadiyah di kota 

kelahirannya dia terlihat suka menolong orang lain,” ungkap Ali Ahmad, salah 

seorang keluarga almarhum kepada Jawa Pos.

 
Minur meninggal seorang istri, Suciwati, dan dua orang anak, Sultan Alif 

Allende (5) dan Diva (2). Menurut penuturan isterinya, tak ada satu pun 

firasat yang dirasakan sebelum kepergian Munir yang begitu mendadak ini. 

Pertemuan mereka terakhir terjadi Senin malam 6 September 2004, tatkala 

mereka melepas Munir terbang ke Belanda dengan pesawat Garuda. 


Mereka tiba di bandara sekitar satu setengah jam sebelum pesawat take off. Di 

bandara, teman-teman Munir dari Imparsial sudah ada yang ikut menunggu. Saat 

itu, Munir memang tampak berat berpisah dengan keluarganya. Meski, 

rencananya, isteri dan anaknya akan menyusul beberapa bulan kemudian. 

Isterinya sangat terkejut, ketika Usman Hamid (koordinator Kontras) 

memberitahukan meninggalnya Munir.


Belum diketahui pasti apa penyakit yang menyebabkan kematian Munir. Dalam 

general check up yang dilakukan sebelum Munir berangkat ke Belanda, sebagai 

salah satu prasyarat yang harus disertakan, kondisi kesehatannya dinyatakan 

baik-baik saja. Menurut Suciwati, setahun lalu, Munir memang sempat di rawat 

di RS Saint Carolus. “Saat itu, dokter berpesan supaya suami saya itu tidak 

terlalu lelah. Kalau bisa, dalam sebulan, istilahnya liburnya seminggu,” kata 

Suciwati.


Memang semakin mendekati hari keberangkatannya ke Belanda, Munir terlihat 

sibuk ke sana-kemari untuk menghadiri dengan berbagai acara dan persiapan. 

Misalnya, pada Selasa ada pesta perpisahan yang dilakukan Kontras. Lalu, pada 

Jumatnya, 3 September 2004, Munir menghadiri acara makan siang bersama di 

Kantor Imparsial di Jalan Diponegoro, Jakarta. Sore harinya masih ada acara 

"perpisahan" yang diadakan Propatria di Hotel Santika, Jakarta. Tapi, kondisi 

Munir saat itu tampak baik-baik.


Dalam acara itu Munir banyak menyampaikan harapan bahwa dia akan mengambil 

program doktor sekaligus, meskipun beasiswa yang diperolehnya hanya untuk 

program master di Universitas Utrecht. ►tsl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN