12/12/2008

SOEHARTO


Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di 

Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari 

2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua, 

menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa 

pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. 

Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang 

bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini 

menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi 

presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 

1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah 

mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya 

Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia 

merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto 

digantikan oleh B.J. Habibie.

Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa 

kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil 

dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi 

kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, 

dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 

milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena 

kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia 

meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 

Januari 2008.

Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, 

yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang 

Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), 

dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang

Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan 

kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton, 

kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal 

sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok 

dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di 

Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya 

yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret) 

hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai 

simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas 

sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja 

Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.

Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro 

Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir 

dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas 

saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke 

Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat . 

Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di 

Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .

Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala 

yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, 

Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas 

besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto 

diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) 

hingga 1965.

Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat 

mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan 

Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap 

kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh 

Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut 

Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat 

sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya 

kelak.Gerakan 30 September

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, 

Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain 

menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. 

Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala 

Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak 

menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski 

menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam 

peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, 

Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba 

menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk 

menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 

1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan 

Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah 

mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat 

tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang 

berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan 

hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini 

diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 

11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan 

mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan 

keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera 

membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang 

Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S 

(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan 

sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno 

dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik 

Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara 

Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan 

akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan 

pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati 

anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis 

sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan 

terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan 

CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian 

mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia 

dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been 

Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: 

"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka 

mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di 

tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul 

keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State 

Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang 

peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang 

bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka 

membebaskan sumber daya di militer.

Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia 

setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada 

tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.

Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan 

bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat 

buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan 

Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia 

menjadi penentu dalam semua keputusan politik.

Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan 

intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan 

Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam 

pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai 

terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut 

"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).

Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. 

Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto 

mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah 

Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, 

dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya 

alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan 

dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi 

dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 

1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa 

Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".

Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh 

MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat 

sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara 

langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan 

satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi 

salah satu pendiri ASEAN.

Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun 

kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak 

dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini 

adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang 

luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal 

ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai 

asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.

Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai 

asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan 

melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem 

kepartaian.Meredam oposisi

Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution 

menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi 

militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, 

termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi 

sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang 

permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. 

Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan 

Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib 

dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa 

bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan 

rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.

Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya 

NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). 

Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan 

kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang 

diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU 

ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan 

ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin 

pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang 

diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang 

Orde Baru.

Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi 

angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung 

dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik 

pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung 

kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai 

balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak 

pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap 

pemerintahan Orde Baru.

Puncak Orde Baru

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi 

sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat 

dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang 

cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan 

barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga 

mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan 

Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan 

bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) 

yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun 

pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap 

turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor 

Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI 

yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga 

internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. 

Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem 

trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan 

pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi 

perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia 

akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. 

Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada 

tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada 

tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap 

sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang 

mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan 

Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai 

politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai 

Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi 

Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di 

Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan 

sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap 

penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas 

tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam 

perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah 

istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan 

mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai 

ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena 

pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas 

ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan 

politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian 

pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat 

yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan 

dari masyarakat.

Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang 

penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan 

menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. 

Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan 

Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.

Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas 

melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto 

menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi 

kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai 

finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada 

saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi 

berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung 

kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan 

"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, 

dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai 

yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh 

karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai 

Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan 

Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai 

Demokrasi Indonesia.

Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan 

Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni 

Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang 

kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta 

kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang 

campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh 

Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 

Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut 

dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada 

1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan 

nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini 

terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media 

Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah 

pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, 

beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. 

Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan 

yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di 

Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.

Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari 

kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai 

resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai 

tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta 

pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai 

"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
 
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, 

para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan 

pengunduran dirinya di televisi.

Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan: 
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998

Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia 

telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun 

yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika 

ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh 

dan mendetail dari IMF.

Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden 

pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap 

memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 

1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, 

serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto 

mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan 

meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil 

Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.

Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi 

penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini 

merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.

Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto

Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana 

Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial 

(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti 

Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. 

Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. 

Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari 

keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 

2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 

saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang 

pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.

Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah 

terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 

15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, 

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah 

mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan 

Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan 

Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi 

fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu 

dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini 

lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 

2006.Peninggalan

Bidang Politik

Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak 

mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari 

Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham 

komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur 

sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya 

bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente 

/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan 

merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban 

jiwa sipil.[Mei 2008]

Bidang Kesehatan

Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye 

Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki 

secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang 

nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit 

sampai kerusakan lingkungan hidup.

Bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang 

bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada 

awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah 

(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin 

juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 

tahun.

Bidang Perekonomian

Wafat Soeharto
 
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.

Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 

2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak 

Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah 

dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat 

Pertamina (RSPP), Jakarta.

Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran 

Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi 

Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto 

tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat 

kegagalan multi organ.

Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan 

dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan 

yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan 

kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika 

iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan 

seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut 

kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian 

kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan 

Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla 

dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang 

ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 

detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan 

belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji 

Muhammad Soeharto.

Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil 

Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.

Pemakaman

Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan 

Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara 

Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim 
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di 

Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari 

2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua, 

menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa 

pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. 

Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang 

bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini 

menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi 

presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 

1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah 

mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya 

Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia 

merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto 

digantikan oleh B.J. Habibie.

Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa 

kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil 

dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi 

kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, 

dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 

milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena 

kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia 

meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 

Januari 2008.

Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, 

yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang 

Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), 

dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang

Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan 

kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton, 

kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal 

sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok 

dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di 

Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya 

yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret) 

hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai 

simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas 

sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja 

Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.

Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro 

Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir 

dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas 

saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke 

Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat . 

Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di 

Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .

Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala 

yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, 

Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas 

besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto 

diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) 

hingga 1965.

Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat 

mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan 

Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap 

kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh 

Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut 

Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat 

sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya 

kelak.Gerakan 30 September

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, 

Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain 

menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. 

Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala 

Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak 

menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski 

menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam 

peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, 

Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba 

menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk 

menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 

1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan 

Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah 

mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat 

tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang 

berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan 

hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini 

diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 

11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan 

mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan 

keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera 

membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang 

Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S 

(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan 

sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno 

dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik 

Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara 

Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan 

akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan 

pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati 

anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis 

sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan 

terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan 

CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian 

mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia 

dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been 

Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: 

"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka 

mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di 

tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul 

keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State 

Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang 

peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang 

bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka 

membebaskan sumber daya di militer.

Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia 

setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada 

tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.

Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan 

bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat 

buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan 

Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia 

menjadi penentu dalam semua keputusan politik.

Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan 

intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan 

Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam 

pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai 

terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut 

"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).

Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. 

Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto 

mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah 

Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, 

dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya 

alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan 

dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi 

dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 

1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa 

Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".

Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh 

MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat 

sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara 

langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan 

satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi 

salah satu pendiri ASEAN.

Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun 

kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak 

dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini 

adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang 

luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal 

ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai 

asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.

Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai 

asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan 

melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem 

kepartaian.Meredam oposisi

Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution 

menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi 

militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, 

termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi 

sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang 

permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. 

Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan 

Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib 

dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa 

bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan 

rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.

Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya 

NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). 

Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan 

kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang 

diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU 

ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan 

ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin 

pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang 

diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang 

Orde Baru.

Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi 

angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung 

dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik 

pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung 

kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai 

balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak 

pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap 

pemerintahan Orde Baru.

Puncak Orde Baru

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi 

sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat 

dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang 

cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan 

barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga 

mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan 

Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan 

bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) 

yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun 

pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap 

turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor 

Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI 

yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga 

internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. 

Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem 

trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan 

pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi 

perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia 

akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. 

Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada 

tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada 

tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap 

sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang 

mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan 

Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai 

politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai 

Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi 

Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di 

Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan 

sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap 

penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas 

tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam 

perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah 

istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan 

mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai 

ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena 

pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas 

ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan 

politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian 

pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat 

yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan 

dari masyarakat.

Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang 

penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan 

menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. 

Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan 

Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.

Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas 

melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto 

menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi 

kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai 

finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada 

saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi 

berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung 

kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan 

"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, 

dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai 

yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh 

karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai 

Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan 

Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai 

Demokrasi Indonesia.

Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan 

Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni 

Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang 

kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta 

kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang 

campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh 

Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 

Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut 

dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada 

1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan 

nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini 

terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media 

Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah 

pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, 

beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. 

Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan 

yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di 

Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.

Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari 

kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai 

resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai 

tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta 

pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai 

"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
 
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, 

para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan 

pengunduran dirinya di televisi.

Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan: 
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998

Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia 

telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun 

yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika 

ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh 

dan mendetail dari IMF.

Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden 

pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap 

memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 

1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, 

serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto 

mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan 

meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil 

Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.

Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi 

penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini 

merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.

Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto

Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana 

Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial 

(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti 

Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. 

Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. 

Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari 

keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 

2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 

saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang 

pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.

Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah 

terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 

15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, 

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah 

mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan 

Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan 

Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi 

fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu 

dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini 

lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 

2006.Peninggalan

Bidang Politik

Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak 

mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari 

Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham 

komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur 

sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya 

bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente 

/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan 

merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban 

jiwa sipil.[Mei 2008]

Bidang Kesehatan

Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye 

Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki 

secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang 

nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit 

sampai kerusakan lingkungan hidup.

Bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang 

bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada 

awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah 

(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin 

juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 

tahun.

Bidang Perekonomian

Wafat Soeharto
 
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.

Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 

2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak 

Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah 

dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat 

Pertamina (RSPP), Jakarta.

Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran 

Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi 

Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto 

tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat 

kegagalan multi organ.

Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan 

dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan 

yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan 

kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika 

iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan 

seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut 

kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian 

kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan 

Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla 

dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang 

ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 

detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan 

belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji 

Muhammad Soeharto.

Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil 

Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.

Pemakaman

Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan 

Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara 

Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim 

Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana 

Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu 

sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14 

WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di 

liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut 

dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana 

Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu 

sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14 

WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di 

liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut 

dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN