12/12/2008
SOEHARTO
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di
Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari
2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua,
menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang
bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini
menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi
presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya
Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa
kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil
dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi
kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur,
dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15
milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena
kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia
meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27
Januari 2008.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak,
yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy),
dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan
kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton,
kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok
dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di
Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya
yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret)
hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai
simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas
sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja
Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro
Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir
dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas
saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat .
Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di
Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .
Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala
yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur,
Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas
besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto
diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat
mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan
Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap
kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh
Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut
Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat
sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya
kelak.Gerakan 30 September
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan,
Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain
menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H.
Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala
Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski
menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan,
Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba
menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk
menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober
1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan
Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah
mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat
tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang
berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan
hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini
diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah
11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan
mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang
Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan
sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno
dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik
Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara
Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan
akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan
terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan
CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia
dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been
Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di
tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul
keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang
peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang
bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka
membebaskan sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia
setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada
tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan
bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat
buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan
Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia
menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan
intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan
Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam
pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai
terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut
"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA.
Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto
mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur,
dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya
alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan
dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi
dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada
1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa
Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh
MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat
sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara
langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan
satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi
salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun
kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak
dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini
adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang
luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal
ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai
asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai
asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan
melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem
kepartaian.Meredam oposisi
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution
menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi
militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan,
termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi
sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang
permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto.
Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan
Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib
dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa
bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan
rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan
kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU
ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan
ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin
pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang
diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang
Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi
angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung
dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik
pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung
kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai
balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak
pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap
pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi
sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat
dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang
cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan
barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga
mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan
Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan
bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju)
yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap
turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor
Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI
yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga
internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem
trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan
pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997.
Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada
tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada
tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap
sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di
Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan
sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap
penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas
tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam
perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah
istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai
ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena
pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas
ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan
politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian
pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat
yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan
dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan
menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan
Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi
kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada
saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi
berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan
"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai
yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh
karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan
Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan
Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni
Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta
kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang
campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15
Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut
dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada
1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini
terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan
yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai
resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai
"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi,
para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya di televisi.
Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan:
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia
telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun
yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika
ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh
dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden
pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap
memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret
1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer,
serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan
meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari
keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal
2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9
saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang
pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah
terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan
15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti,
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan
Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan
Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi
fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu
dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini
lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni
2006.Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak
mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari
Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham
komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur
sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya
bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente
/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan
merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban
jiwa sipil.[Mei 2008]
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye
Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki
secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang
nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit
sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang
bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada
awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah
(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin
juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9
tahun.
Bidang Perekonomian
Wafat Soeharto
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari
2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak
Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah
dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran
Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi
Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto
tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat
kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan
yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan
kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika
iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian
kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan
Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla
dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang
ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28
detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan
belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji
Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan
Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara
Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di
Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari
2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua,
menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang
bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini
menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi
presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya
Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa
kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil
dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi
kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur,
dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15
milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena
kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia
meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27
Januari 2008.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak,
yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy),
dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan
kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton,
kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok
dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di
Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya
yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret)
hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai
simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas
sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja
Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro
Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir
dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas
saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat .
Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di
Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .
Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala
yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur,
Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas
besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto
diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat
mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan
Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap
kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh
Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut
Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat
sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya
kelak.Gerakan 30 September
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan,
Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain
menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H.
Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala
Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski
menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan,
Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba
menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk
menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober
1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan
Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah
mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat
tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang
berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan
hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini
diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah
11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan
mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang
Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan
sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno
dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik
Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara
Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan
akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan
terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan
CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia
dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been
Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di
tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul
keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang
peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang
bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka
membebaskan sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia
setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada
tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan
bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat
buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan
Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia
menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan
intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan
Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam
pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai
terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut
"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA.
Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto
mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur,
dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya
alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan
dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi
dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada
1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa
Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh
MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat
sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara
langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan
satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi
salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun
kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak
dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini
adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang
luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal
ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai
asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai
asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan
melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem
kepartaian.Meredam oposisi
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution
menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi
militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan,
termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi
sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang
permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto.
Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan
Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib
dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa
bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan
rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan
kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU
ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan
ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin
pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang
diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang
Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi
angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung
dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik
pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung
kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai
balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak
pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap
pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi
sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat
dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang
cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan
barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga
mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan
Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan
bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju)
yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap
turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor
Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI
yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga
internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem
trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan
pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997.
Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada
tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada
tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap
sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di
Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan
sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap
penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas
tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam
perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah
istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai
ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena
pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas
ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan
politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian
pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat
yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan
dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan
menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan
Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi
kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada
saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi
berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan
"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai
yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh
karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan
Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan
Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni
Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta
kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang
campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15
Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut
dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada
1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini
terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan
yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai
resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai
"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi,
para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya di televisi.
Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan:
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia
telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun
yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika
ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh
dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden
pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap
memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret
1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer,
serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan
meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari
keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal
2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9
saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang
pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah
terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan
15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti,
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan
Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan
Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi
fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu
dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini
lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni
2006.Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak
mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari
Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham
komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur
sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya
bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente
/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan
merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban
jiwa sipil.[Mei 2008]
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye
Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki
secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang
nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit
sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang
bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada
awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah
(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin
juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9
tahun.
Bidang Perekonomian
Wafat Soeharto
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari
2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak
Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah
dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran
Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi
Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto
tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat
kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan
yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan
kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika
iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian
kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan
Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla
dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang
ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28
detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan
belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji
Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan
Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara
Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim
Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana
Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu
sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14
WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di
liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut
dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana
Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu
sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14
WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di
liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut
dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN