1/04/2009

SEJARAH AWAL PENYUSUNAN (1/3)
  DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
  oleh Nurcholish Madjid
 
Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang
lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak
masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan
munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.
 
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para
Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai
masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga
masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf
(Klasik).
 
Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini
bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat
transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan
kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain
menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat.
Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
 
Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara
kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu
serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah
menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap
'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri
sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl
al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat
pada Dinasti Umayyah.
 
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh
bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan
Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,
setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap
al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
 
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para
pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah
-dengan perbedaan berbagai kelompok mereka- sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits
tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum
Syi'ah..." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]
 
Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in -dengan dipimpin
tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian
membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang
sistimatis.
 
WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
 
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat
kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan
ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara
lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan
adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum,
sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi
untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
 
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para
Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap
sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab:
al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu
mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual
untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
 
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre
kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam
pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.
 
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap
perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
 
...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan
zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh
nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang
menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai
kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman
dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]
 
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat
(shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
 
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum
ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak
keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan
menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
 
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw.
diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan
menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna
berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash
itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN