1/04/2009

Lia Aminuddin dan Problem Penghapusan Agama

Lia Aminuddin dan Problem Penghapusan Agama
Oleh Abd Moqsith Ghazali 

Dengan demikian, agama baru tak boleh bersikap angkuh dengan menganulir ajaran agama sebelumnya yang telah menjadi keyakinan para pengikutnya sejak lama. Seperti halnya Lia yang tak boleh sewenang-wenang menghapus agama Islam, maka begitu juga ulama Islam tak boleh memvonis secara sepihak terhadap agama yang tumbuh sebelumnya. Injil tak bisa diadili dengan menggunakan Alquran, misalnya, karena konteks yang melatari kehadiran dua kitab suci itu jelas berbeda. 

Lia Aminuddin mendirikan agama baru. Ia tak memulainya dari nol. Lia meracik agamanya dengan sejumlah ajaran dari agama lain. Sebagiannya diambilkan dari Alquran, dan sebagian yang lain dari Injil dan Taurat. Ia mengkompilasi Islam, Kristen, dan Yahudi dalam satu chapter. Ia pun menggunakan nama-nama mitis yang lazim dipakai agama-agama Timur Tengah tersebut seperti Jibril, Ruhul Kudus, Bunda Maria, Yesus Kristus, dan sebagainya. Ia bertutur, sejumlah ayat Alquran turun kembali ke haribaannya. Ia menyerap dan meratifikasi ayat-ayat dalam Injil. Dengan merujuk pada Alkitab surat Wahyu 12: 1 misalnya, Lia mengaku sebagai reinkarnasi Bunda Maria. Ia pun mengutip ayat dalam Veda dan dalam Dhammapada untuk mengukuhkan eksistensinya. Dalam periode ini, ia seakan hendak menegaskan bahwa apa yang dibawanya bukan sesuatu yang baru. Ia dan ajarannya merupakan kelanjutan logis dari ajaran para nabi dan pendiri agama sebelumnya. 

Sampai di situ, Lia tak terlampau kontroversial. Karena hampir semua nabi terutama pada saat awal kehadirannya memiliki klaim sama. Yesus pernah berkata, “janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya”. (Perjanjian Baru, Matius 5: 17). Nabi Muhammad pernah diperintah mengikuti agama Ibrahim. Allah berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu: ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dia tak termasuk orang-orang Musyrik”. (QS, al-Nahl [16]: 123). Itu sebabnya Muhammad SAW tak menganggap dirinya sebagai yang pertama. Allah berfirman, “katakanlah, “aku bukanlah yang pertama di antara rasul-rasul” (qul ma kuntu bid`an min al-rusul). (QS, al-Ahqaf [46]: 9). Ungkapan serupa juga dikemukakan Lia Aminuddin ketika pertama kali memperkenalkan kenabian dirinya ke publik. 

Namun, dalam perkembangan berikutnya Lia mengajukan klaim lain. Ia tak mendaku sebagai nabi dan reinkarnasi Bunda Maria lagi. Lia menyebut dirinya Jibril Ruhul Kudus, malaikat yang dikenal karena kesabarannya bolak-balik mengantar wahyu Allah kepada para nabi dan rasul. Ia berkata, “aku, Ruhul Kudus pun telah sampai pula pada saatnya dapat menjelma menjadi manusia sempurna di tengah masyarakat. Aku selalu ada sebagaimana Lia Eden yang tak pernah berpisah denganku sesaatpun. ….Sebagaimana Lia Eden itu terfungsikan sebagai jasadku, karena pada dirinyalah berada ruhku yang mapan. ..Aku menjelma secara fisik dengan sempurna demi menyatakan Kerajaan Tuhan”. (Surat Ruhul Kudus 7-8). Bagi saya, pengakuan Lia ini bukan hanya tak biasa, melainkan juga tak punya preseden. Tak pernah ada orang yang mengaku sebagai (jelmaan) Jibril. Paling jauh orang-orang dalam rumpun agama semitik seperti Islam menganggap diri sebagai sufi, wali, nabi, dan imam mahdi. Tak lebih dari itu. Mengaku wali saja cukup kontroversial apalagi mengaku nabi dan penubuhan Jibril. 

Sebagai Jibril Ruhul Kudus, telah dua tahun lalu Lia memaklumatkan penghapusan agama-agama. Ia berkata, “Aku bersumpah dengan terpaksa menghapuskan semua agama-agama demi mengadili dan demi membakukan Keadilan-Ku. Dan kuhapuskan semua agama-agama demi perdamaian dan kemudahan jalan menuju surga-Ku”. (Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa, 18). Ia juga berkata, “Dan apabila Aku sudah menghapus agama Islam setahun yang lalu, walau tak bergaung karena tak diberitakan sehingga tak menjadi perhatian umum, tapi itu telah terlaksana sebagai Ketetapan Hukum-Ku. Demikianlah Kuperlihatkan kenaasan nasib umat Islam sedunia setelahnya”. (Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa, 18). Pernyataannya tentang penghapusan Islam ini telah memantik pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sejumlah ulama mengajukan keberatan. Mereka menganggap Lia dan jemaatnya telah melakukan penodaan agama sehingga pantas diadili. 

Bagaimana penghapusan agama lama oleh agama baru ini? Apakah itu unik pada agama rintisan Lia? Pertama, agama baru biasanya menghapuskan sebagian ajaran agama lama dan menerima sebagian yang lain. Islam mengabrogasi sebagian syari`at agama Yahudi yang dipandang tak relevan. Tapi, juga menerima sebagian yang lain yang dinilai cocok dengan konteks zaman. Islam pernah menetapkan hukum rajam dan qishash sebagaimana Yahudi mengundangkannya. Karena itu, dalam ushul fikih disebutkan bahwa syari`at sebelum Islam (syar`u man qablana) merupakan salah satu sumber hukum Islam. Lia pun mengenal istilah pengakuan dan penebusan dosa sebagaimana kerap dilakukan umat Kristiani. Model penghapusan dan akomodasi parsial seperti ini telah banyak terjadi dan orang mudah memaklumi. 

Kedua, agama baru selalu membawa semangat penyegaran dan peremajaan. Islam misalnya dianggap sebagai edisi revisi dari agama Tuhan yang diselewengkan (tahrif) dan dipalsukan oleh umat Kristiani dan Yahudi. Sebagian mufasir mengartikan orang-orang termurka (al-maghdlub `alaihim) dan tersesat (al-zhallin) dalam Alquran surat al-Fatihah sebagai orang Yahudi dan Nashrani. Kehadiran Islam diharapkan bisa memulihkan integritas agama yang hancur di tangan para pemeluk agama Yahudi dan Nashrani. Lia juga sama. Ia memandang umat Islam dan Kristiani Indonesia telah melanggar kodrat agama sebagai tangga menuju Tuhan. Islam telah menjadi tujuan padahal ia hanya sarana untuk mencapai Tuhan. Agama telah menjadi ajang konflik dan perebutan kekuasaan. Dengan argumen itu, Lia membakar “lumbung” dan bukan menjerat “tikus”.  

Tindakan Lia ini mengejutkan. Tapi orang yang belajar teologi dan sejarah agama-agama tahu; sikap Lia terhadap agama sebelumnya ini agak mirip dengan sikap Kristen terhadap Yahudi serta sikap Islam terhadap Kristen dan Yahudi. Jika dahulu sebagian umat Yahudi dan Kristiani tersinggung dengan pandangan Islam yang hendak menaskh sebagian ajaran Yahudi dan Kristen, maka hal yang sama sekarang dialami sebagian ulama Islam. Mereka marah atas arogansi Lia Aminuddin yang tidak hanya menghapuskan sebagian ajaran Islam, melainkan justeru membubarkan agama Islam sendiri. Seperti otoritas Yahudi juga Romawi yang terguncang dengan kehadiran Yesus hingga ia disalibkan, maka ulama Islam Indonesia mulai geram dengan kehadiran Lia. Kemarahan orang Yahudi tak terkendalikan hingga menuduh Bunda Maria sebagai penzina dan Yesus adalah anak haram jadah. Kini kemarahan orang Islam tak tertahan hingga Lia Aminuddin nyaris dihakimi massa. 

Melalui penjelasan itu, ingin saya katakan; Pertama, agama tidak melulu soal ajaran tapi juga soal keyakinan. Dengan demikian, agama baru tak boleh bersikap angkuh dengan menganulir ajaran agama sebelumnya yang telah menjadi keyakinan para pengikutnya sejak lama. Seperti halnya Lia yang tak boleh sewenang-wenang menghapus agama Islam, maka begitu juga ulama Islam tak boleh memvonis secara sepihak terhadap agama yang tumbuh sebelumnya. Injil tak bisa diadili dengan menggunakan Alquran, misalnya, karena konteks yang melatari kehadiran dua kitab suci itu jelas berbeda. Kedua, penghapusan agama lama oleh agama baru tak produktif bagi terciptanya tata kehidupan damai. Sikap seperti ini hanya akan memercikkan api perseteruan. Umat yang satu tak akan rela sekiranya agama yang diyakininya dengan sepenuh hati dievaluasi dan direndahkan begitu rupa oleh umat lain yang datang belakangan. Kolonialisasi agama seperti ini perlu segera diakhiri agar tak menimbulkan ketegangan antar-umat beragama. 

Ketiga, khusus bagi umat Islam yang kini agamanya telah dihapuskan oleh Lia Aminuddin, kita tak perlu bertindak emosional. Umat Islam mesti menunjukkan bukan hanya kepada komunitas Lia Aminuddin di Jalan Mahoni No. 30 Jakarta Pusat, tapi juga kepada dunia perihal ajaran-ajaran dasar Islam yang masih relevan dan berguna buat sebesar-besarnya kemaslahatan manusia. Sebab, ketinggian dan martabat sebuah agama bukan hanya ditentukan oleh asal-usulnya yang diklaim dari langit, melainkan juga dari dampak kemalahatan yang ditimbulkannya ketika di bumi. Tak banyak gunanya ajaran agama yang dianggap dari Jibril ketika hanya berisi ancaman dan caci maki kepada yang lain.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN