1/04/2009

FILSAFAT ISLAM

oleh Harun Nasution
 
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang
Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.
Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran
antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk
setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.
 
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama
dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan
ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula
terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
 
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang
tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu
golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
 
Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam
teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri
dari teologi rasional ini ialah:
 
 1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka
  tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
  yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
  ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
  arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
  arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
  tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
  dalam memahami wahyu.
   
 2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang
  kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia
  dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,
  mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam
  kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara
  mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham
  qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
  free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
  manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
  maupun pemikiran.
   
 3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan
  konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
  yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
  Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
  keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
  al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
  perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
  menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
  dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
 
Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan
kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi
juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
 
Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M)
satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas
mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada
pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang
yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga
menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.
Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan
agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai
argumen-argumen rasional.
 
Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada
"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia
dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.
 
Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha
memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya
konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di
luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah
benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah
jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk jenis.
 
Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan
filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi
konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,
Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya
yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan
terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti
banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi
esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
 
Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi
(al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir
tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau
energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya
yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang
diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
 
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:
 
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
 
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan
Akal.
 
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di
zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.
 
Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat
emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
 
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi
melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.
 
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau
nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan
tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan
sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
 
Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,
apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali.
Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada
pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut
al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran
yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia
membagi jiwa kepada tiga bagian:
 
 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
  tumbuh dan berkembang biak.
   
 2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah
  dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan
  pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
  pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra
  dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
   
  i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang
  diperoleh pancaindra.
   
  ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar
  dari materi.
   
  iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
   
  iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang
  terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
   
  v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
   
 3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu
  berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
   
  a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal
  dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam
  jiwa binatang.
   
  b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang
  tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan
  malaikat.
 
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang
akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia
terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu
Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal
teoritis akan berkembang dengan baik.
 
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
 
 1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi
  untuk menangkap arti-arti murni.
   
 2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap
  arti-arti murni.
   
 3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak
  menangkap arti-arti murni.
   
 4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya
  menangkap arti-arti murni.
 
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki
filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti
murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
 
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga
yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh
terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam
hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang
mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di
dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk
membawa manusia kepada kesempurnaan.
 
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi
perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa
tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya
tubuh kembali menjadi tanah.
 
Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan
setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat
kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di
atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap
arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya
makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau
akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi
pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam
menangkap arti-arti murni.
 
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh
karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti
dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh
balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat.
Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya
tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang
bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa
tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah
kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah
dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi
kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.
 
Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi
perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan
jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.
 
Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam.
Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran
Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis
(al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang
Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat
Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.
 
Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi
yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula
dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena
Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung
dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang
Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui
juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan
mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II
dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II
dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan
yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa
berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani
tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang
sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum
alam.
 
Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan
al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam.
Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka
kepada kekufuran, yaitu:
 
  1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
   
  2. Pembangkitan jasmani tak ada
   
  3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
 
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat
al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang
wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak
pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak
diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat
dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada
yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah
pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham
syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut
tak dapat diampuni Tuhan.
 
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta
yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan
ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam
tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf
mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah
yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang
percaya bahwa alam ini qadim.
 
Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan
teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya
pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin
"Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?.
Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya
pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas
berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani
dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.
 
Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui
perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan
falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an.
Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am:
Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.
 
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian
timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi
falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali
mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai
hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu
sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang
menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa
oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu
tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu
jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan
sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang
kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.
 
Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari
bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari
hal-hal
 
 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah
  sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti
  lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti
  tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan
  pemikiran ilmiah dan filosofis.
   
 2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini
  merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang
  belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi
  masih banyak bergantung pada orang lain untuk
  membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan
  paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada
  kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap
  statis.
   
 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari
  paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini
  diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan
  menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum
  alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah
  kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak
  sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi
  biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak
  Tuhan.
 
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada
berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana
halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,
teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam
bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman
al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad
sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf
Islam.
Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol
Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah
serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang
berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat
sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
 
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari
Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.
 
Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut
al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
 
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai
permulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis,
alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada
sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika
itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari
tiada atau nihil.
 
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa
sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di
sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,
 
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
 
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan
langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari
Ha Mim menyebut pula,
 
Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.
 
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta
uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,
 
Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit
dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami
pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.
 
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya
berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.
 
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat
al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat
hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an
sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf
lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata
Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada,"
seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti
yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun,
menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah.
Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada"
tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti
disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima
konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada,"
kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi
ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal
bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan
menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan
yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi
susunannya adalah baru (hadis).
 
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa
kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran
filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan,
tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan
terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau
sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan
qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta
dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus
menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan
demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi
adalah ciptaan Tuhan,
 
Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini
tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
 
Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi
rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi
balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit.
 
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari
kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan
demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang
lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi
dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi
asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini
Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi
dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan
diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah
seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai
dengan kandungan al-Qur'an.
 
Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk
mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya
alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan
pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing
tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi
pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali.
 
Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang
terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak
pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan
mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan
materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat
immateri dan tak mempunyai pancaindra.
 
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam
Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal
itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam
ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia
menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat
adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia
mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah
pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
 
Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat
untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak
tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya
pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan
kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari
filsafat mereka.
 
Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada
pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan
kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian
akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah
meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti
tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
 
Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan
dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi.
Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana
dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah
kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat
benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai
kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan
pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.
 
Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol
mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya
hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada
1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari
Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,
hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam
bagian barat.
 
Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah,
teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa
jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang
abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam
bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di
atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn
Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional
mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti
al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.
Jones, London, Luzac & Co., 1970.
 
Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.
 
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.
 
Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,
1961.
 
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1983.
 
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.
 
Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.
 
Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.
 
O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,
London, Routledge & Kegan Paul, 1964.
 
Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,
1963.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN