1/04/2009

PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH

oleh Nurcholish Madjid
 
Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat
kelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadits sebagai
sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada suatu
golongan yang menanamkan dirinya kaum "Inkar al-Sunnah".
Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegang
pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para
ulama dan tokoh Islam.
 
Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibat
kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara
sunnah dan hadits. Sudah jelas, di antara keduanya terdapat
jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang
pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas
daripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa
sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadits.
Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci
al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits, sebagaimana sering
dituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di
antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."
 
Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan dari
hadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut
"sunnah" maka dengan sendirinya akan terbayang padanya
sejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal di
antaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim
(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang lengkapnya
meliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,
al-Turmudzi dan al-Nasa'i. Tapi sebelum mereka sudah ada
seorang kolektor hadits yang amat kenamaan dan berpengaruh
besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas
(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab
hadits al-Muwaththa'.
 
Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada
prinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan.
Tapi ingkar kepada hadits, sekalipun jelas tidak dapat
dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentu
mana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yang
panjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaum
Mu'tazilah. Oleh karena dampak masalah ini dalam usaha
penetapan hukum (tasyri') sangat besar dan penting, maka
kajian kesejarahan tentang evolusi pengertian sunnah --yang
diungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapat
membantu memperjelas persoalan. Perjalanan sejarah
perkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang dan
rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme
yang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang
apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah
itu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikan
kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.
 
PENGERTIAN SUNNAH
 
Sunnah lebih luas daripada hadits, termasuk yang sahih.
Berarti, sunnah tidak terbatas hanya pada hadits. Sekalipun
pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang
kekaburan. Memang, antara sunnah dan hadits terbentang garis
kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara
keduanya tidak dapat dibenarkan.,
 
Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua
setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka
sesungguhnya Nabi hanya menyatakan sesuatu yang amat logis.
Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, orang Islam
tentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam Kitab
Suci, kemudian, kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabi
sendiri memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai
utusan Tuhan, yang secara logis paling paham akan apa yang
dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling
tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi
hal itu mustahil dapat diterima.
 
Pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah itu teladan
beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"
kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan
bentuk reportase atau penuturan tentang apa yang disebabkan
Nabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lain
yang "didiamkan" beliau (yang dapat dapat diartikan sebagai
"pembenaran"). Itulah makna asal kata hadits, yang sekarang
ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif. Namun
demikian, tidak berarti bahwa hadits dengan sendirinya
mencakup seluruh sunnah.
 
Jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi, maka kita
dapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidak
dimasukkan sebagai hadits, seperti kitab-kitab sirah atau
biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan
tingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragam
tindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam
kedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirah
banyak memberi gambaran.
 
Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis
ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam
(berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun
wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah (pada tahun 85
H), dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya beberapa lama
sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.
 
Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentang
riwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitab
al-Maghazi. Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitab
biografi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambaran
tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumber
yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud
selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifat
terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalam
sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai
al-Maghazi tersebut, berhasil membangkitkan semangat
perjuangan Islam, karena ilham teladan baik dari beliau.
Inilah "eksperimen" Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi dalam
menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan "eksperimen" itu pemimpin Islam dari Mesir yang
kemudian terkenal dengan sebutan "Sultan Saladin" itu
mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu
upacara memperingati kelahiran Nabi dengan membaca riwayat
hidup beliau.
 
Sunnah Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhan
kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan
akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang
baik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benar
berharap pada Allah pada Hari Kemudian, serta banyak ingat
kepada Allah" (Q.S. al-Ahzab 33:32). Dan beliau juga
dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlak
amat mulia (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam
hal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorang
yang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.
 
Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab
Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak
perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya
menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Dari
pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham
tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,
dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:
 
Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.
Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu
daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu
bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu
miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,
janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)
 
Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskan
bebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakan
namamu?! Sebab sesunggahnya bersama kesulitan tentu ada
kemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)
 
Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Dluha turun
kepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang
relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaum
musyrik Makkah bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka
kepadanya. Dari latar belakang turunnya, surat ini juga
menggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalam
perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub,
Allah menghibur beliau dan memberinya dorongan moril, bahwa
Allah samasekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pula
murka.

IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITS
DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
 
Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebih
penting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya,
Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yang
strategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek,
yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asa
atau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek.
Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapai
hasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakin
panjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalam
jangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan dengan
penuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberi
kemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (Janji
Tuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupa
kemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah ke
Madinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadap
Allah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa).
 
Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masa
lampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yang
yatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, dan
miskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya pada
beliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.
Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agar
Nabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentak
peminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akan
nikmat karunia Tuhan.
 
Berkenaan dengan surat al-Syarh, para ahli mengatakan bahwa
wahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan surat
al-Dluha, bahkan merupakan kelanjutannya. Dalam surat ini
Allah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagai
seorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuat
semua beban terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwa
Allah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi,
berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya.
Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akan
membawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandung
kesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentu
akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatan
harus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasa
mengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya.
 
Jadi, seperti telah diutarakan, dari kedua surat pendek yang
banyak dibaca dalam shalat itu dapat disimpulkan gambaran
dinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidup
perjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaran
itu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebut
adalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami oleh
siapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad atau
komitmen pada cita-cita luhur. Oleh karena itu sikap-sikap
yang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul dari
kedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengan
contoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan. Dari situ
kita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kita
mengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diri
Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman.
Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapat
disimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian:
 
  1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah
   
  2.Sadar akan perjuangan jangka panjang,
   
  3.Yakin akan kemenangan akhir
   
  4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana
  semua kesulitan teratasi
   
  5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang
  beruntung
   
  6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat
  karunia-Nya,
 
  7.Bersikap lapang dada
   
  8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan
   
  9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa
  datang yang lebih baik
   
 10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif
   
 11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang
 
Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabi
sebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajian
terhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuh
tentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjang
beliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai
Utusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabi
itu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi,
seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama
"engkau" dalam suatu format dialog antara Tuhan dan
Utusan-Nya.
 
Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik dan
mendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Suci
daripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporan
dalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentang
tingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat ad
hoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu.
Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalam
kaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi,
namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamik
sehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitas
yang tinggi, dengan demikian bernilai universal. Karena itu
sunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadits,
meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah.
 
PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS
 
Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslim
yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan
hadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena
ingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim.
Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "Ingkar
Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafa
al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan
mantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta
seorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria,
golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam dunia
Islam, dari dahulu sampai sekarang.
 
Sangat menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar hadits
itu di zaman modern, yang disebutkan oleh al-Siba'i sebagai
contoh, dan yang dinilainya banyak membuka pintu bagi orang
lain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits. Tanpa
menyebut namanya secara jelas, al-Siba'i mengutip tokoh itu
yang pandangannya pernah dimuat oleh majalah al-Manar
pimipinan Sayyid Muhammad Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri,
menurut Mushthafa al-Siba'i, adalah seorang muslim yang
bergairah, yang telah tampil membela Islam dengan cara yang
mengagumkan. Tapi pandangannya yang menolak otoritas hadits
telah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar.
 
Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang
menolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan
bahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapan
syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah
(yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam
keabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi
penambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyak
kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Mereka
mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:
 
 1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun
  yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am
  6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup
  seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi
  ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum
  dan membuat syari'ah.
   
 2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan,
  sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar
  telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami
  yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak
  menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk
  ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya
  hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah
  Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya
  dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan
  sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya.
   
 3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw.,
  bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang
  membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman
  al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para
  sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu
  Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad,
  al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak
  suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru
  dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai
  pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad
  ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang
  untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks
  hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan
  sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka,
  sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i,
  karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak
  sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm
  52:28).
   
 4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau
  bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari
  diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan
  bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku;
  dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi
  al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1]
 
Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar pada
hadits itu disebutkan bahwa pembukaan hadits dimulai pada
akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abad
ketiga. Mungkin yang dimaksudkan ialah adanya dorongan
pembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102
H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutan
kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia
adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang
bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang
'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun,
sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.
 
'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din
al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi
yang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karena
keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan
langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika
bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari
"tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.
 
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk
menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi
Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul
seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau
pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij
yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II
melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum
muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan
khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah,
di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn
'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah
Ibn Mas'ud. Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba
inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau
"sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga
merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah"
Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk
Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akan
memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan
seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup.
Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak
disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para
pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan
sunnah dan jama'ah).
 
Mushthafa al-Siba'i amat menghargai kebijakan 'Umar II
berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia
menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi
angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan
al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi
diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka
akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan
pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i,
sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha
pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd
Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2]
 
Tapi, sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dan
kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan
yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan
tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar
rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya
al-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir
peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi
hadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia
oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut
oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275
H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303
H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab
yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian
"sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi
hadits dalam "Kitab yang Enam" itu.

Fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa proses
pengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih,
dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampung
sekitar tiga abad setelah Nabi. Sesudah masa itu memang masih
terdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadits oleh beberapa
pribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selain
dasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesan
Nabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh mereka
yang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadits yang
demikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktu
demikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukan
otoritas hadits.
 
Sebagaimana telah dikutip kembali dari keterangan (kutipan)
Mushthafa al-Siba'i, dasar-dasar argumen menolak otoritas
hadits secara ringkasnya adalah sebagai berikut:
 
 1.Keseluruhan ajaran Islam cukup berdasarkan pada
  al-Qur'an saja, karena telah menegaskan bahwa Kitab
  Suci itu telah memuat segala sesuatu.
   
 2.Allah menjamin terpeliharanya al-Qur'an, tapi tidak
  menjamin hal serupa untuk Hadits.
   
 3.Nabi melarang, sekurangnya menghalangi, penulisan
  hadits di masa beliau, demikian pula para sahabat dan
  para Tabi'un terkenal.
   
 4.Nabi menegaskan agar orang menerima hadits hanya yang
  benar-benar bersesuaian dengan al-Qur'an, dan menolak
  yang lain.
 
Dr. Musthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang
tegar, dengan tandas menolak argumen-argumen itu. Dia
menyatakan:
 
 1.Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi
  hanya dalam garis besar saja.
   
 2.Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha
  pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga
  meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan
  hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum
  muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan
  menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan
  bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak
  bersandar pada penggunaan tulisan).
   
 3.Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un
  dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran
  akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu
  kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat,
  disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis.
  Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi.
  Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi,
  beberapa sahabat telah melakukannya.
 
 4.Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen
  keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika
  benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa
  kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan
  al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa,
 
Hadits yang sahih, meskipun menetapkan ajaran secara
tersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an.
 
Pembelaan al-Siba'i atas sunnah sebagai hadits itu mewakili
pandangan yang sangat umum di kalangan para ulama. Namun ia
tidak memberi kejelasan tentang bagaimana efek kenyataan
sejarah bahwa untuk sampai pada koleksi dan kodifikasi hadits
seperti sekarang ini proses-proses yang amat sulit harus
dilewati, khususnya proses pemisahan mana dari laporan-laporan
hadits itu otentik dan yang palsu. masih tetap diperlukan
adanya argumen yang kukuh dan mendasar untuk pandangan bahwa
klasifikasi yang ada sekarang adalah terpercaya, atau sudah
tidak lagi memerlukan peninjauan kembali. Batu penarung bagi
pandangan ini ialah kenyataan bahwa zaman sekarang ditandai
dengan mudahnya diperoleh bahan bacaan di semua bidang,
termasuk bidang-bidang yang dapat dijadikan landasan kajian
perbandingan ilmu kritik hadits, baik dari segi metodologinya
maupun dari segi hasil-hasil yang telah dicapai. Karena itu
pada zaman sekarang akan lebih mudah bagi mereka yang berminat
secara khusus untuk meneliti kembali hadits-hadits dan membuat
klasifikasi baru tentang sahih-tidaknya matan-matan dan
riwayat-riwayat yang ada. Sebenarnya hal ini dapat sekedar
merupakan pengulangan atau penerapan kembali metodologi Imam
al-Bukhari, tapi dengan dibantu oleh penggunaan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh zaman modern, baik
dari segi perangkat kerasnya (material dan bahan bacaan yang
tersedia) maupun perangkat lunaknya (metodologi kritiknya).
 
Imam al-Bukhari sendiri sekedar meneruskan dan menerapkan
dengan setia teori dan prinsip-prinsip riset hadits yang
diletakkan oleh Imam al-Syafi'i. Dorongan untuk meletakkan
teori dan metodologinya itu ialah keprihatinan al-Syafi'i oleh
adanya kekacauan dan berkecamuknya usaha pemalsuan
laporan-laporan hadits di zamannya, yang laporan-laporan itu
sendiri semula dan kebanyakan bergaya anekdotal tentang
generasi Islam yang telah lewat, mencakup tentang Nabi sendiri
dan para sahabat. Karena itu hadits juga disebut Khabar,
Akhbar, Riwayah, Atsar, dan lain-lain, yang kesemuanya
menunjukkan sisa pengertiannya yang mula-mula, yaitu kabar,
berita, penuturan, peninggalan, dan lain-lain. Maka yang
dilakukan al-Syafi'i mempunyai nilai yang sungguh besar,
dengan pengaruh yang sampai sekarang dirasakan oleh seluruh
umat Islam.
 
Tapi yang telah dilakukan oleh imam al-Syafi'i jauh lebih
banyak daripada sekedar meletakkan dasar-dasar metodologi
penelitian hadits. Tokoh pendiri madzhab yang penganutnya
banyak di negeri kita ini juga diakui jasanya sebagai yang
meletakkan dasar-dasar metodologi penetapan syari'ah, yang
justru terasa semakin relevan dengan keadaan zaman sekarang
ini. Menurut Marshall Hodgson --yang dapat kita anggap sebagai
seorang peninjau netral dan cukup jujur-- al-Syafi'i berjasa
sebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran meletakkan
prinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari'ah.
Hal itu tercermin dalam konsepnya tentang nasikh-mansukh,
yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskan
oleh hukum yang lain dalam Islam, disebabkan adanya
pertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan (dharf), baik
lingkungan ruang (dharf al-makan) maupun lingkungan waktu
(dharf al-zaman). [3]
 
Berdasarkan metodologid al-Syafi'i itu maka terkenal sekali
rumus hukum Islam yang mengatakan bahwa hukum berubah oleh
perubahan zaman dan tempat. Terutama perubahan zaman, semua
ulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawa
perubahan hukum. Prinsip ini tercermin dalam dua kalimat
rumusannya dalam bahasa Arab,
 
[Tulisan Arab]
 
yang artinya, "Perubahan hukum oleh perubahan zaman. Tidak
dapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman). [4]
 
Untuk dapat melaksanakan prinsip amat penting itu tidaklah
mudah. Salah satu yang mesti diperlukan ialah kemampuan
menangkap "pesan zaman", sehingga suatu hukum dapat diterapkan
secara efektif karena relevan dengan pesan zaman itu. Ini
berarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atau
abstraksi dari hukum-hukum yang ada menjadi prinsip-prinsip
umum yang berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Dan
berlakunya suatu prinsip untuk segala zaman dan tempat adalah
berarti kemestian memberi peluang pada prinsip itu untuk
dilaksanakan secara teknis dan kongkret menurut tuntutan ruang
dan waktu. Karena ruang dan waktu berubah, maka tuntutan
spesifiknya pun tentu berubah, dan ini membawa perubahan
hukum. Maka yang berubah bukanlah prinsipnya, melainkan
pelaksanaan teknis dan kongkret hukum itu dalam masyarakat
tertentu dan masa tertentu.
 
Iman al-Syafi'i khususnya, dan madzhab Syafi'i umumnya
meletakkan dasar metodologi generalisasi dan abstraksi
(ta'mim, istiqra, tajrid) tersebut dalam lima cara pendekatan
pada setiap ketentuan hukum, yaitu: 1) semua perkara harus
diperhatikan maksud dan tujuannya; 2) bahaya harus dihilangkan
atau dihindari; 3) adat kebiasaan adalah sumber penetapan
hukum; 4) hal mantap tidak boleh dihapus oleh hal yang
meragukan; 5) kesulitan pelaksanaan harus menghasilkan
kemudahan hukum. Dalam bahasa Arab, kelima prinsip itu diberi
patokan rumusan baku sebagai berikut, [5]
 
[Tulisan Arab]
 
Kemudian, sesuai dengan kebiasaan klasik dalam budaya literer
Islam, kelima prinsip itu oleh seorang penganut madzhab
Syafi'i didendangkan dalam bentuk syair, demikian:
 
[Tulisan Arab]
 
Jika diperhatikan benar-benar metodologi Imam al-Syafi'i itu
maka sesungguhnya terdapat dorongan yang cukup kuat untuk
mendekati suatu ketentuan tekstual, baik dalam Kitab Suci
maupun dalam hadits tidak secara harfiah, melainkan dengan
penarikan ide prinsipil atau fikrah mabda iyyah atau fikrah
ushuliyyah yang dikandungnya, dan yang menjadi inti hikmah
tasyri' dari ketentuan yang ada. Oleh karena tema-tema hadits
umumnya bersifat ad hoc dan lepas dari keseluruhan kepribadian
Nabi, maka abstraksi dan generalisasi dari hadits menghasilkan
problema dan kesulitan yang tidak kecil. Padahal hanya dari
abstraksi dan generalisasi itu kita dapat memahami sunnah
Nabi, dan bukannya sekedar menyamakan begitu saja makna dan
semangat sunnah dengan teks-teks laporan hadits.
 
CATATAN
 
 1.Dr. Mushthafa al-Siba'i, "Al-A'ashir fi wajh al-Sunnah
  Hadits-an" dalam majalah Al-Muslimin, Damaskus, No. 3
  (Syawal 1374 H/Ayyar [Mei 1955]), hal. 24-26.
   
  Meskipun Al-Siba'i tidak menyebutkan nama tokoh Ingkar
  Hadits ini, namun dari bukunya. Al-Sunnah wa Makanatuha
  fi al-Tasyri' al-Islami, nama itu dapat diperkirakan
  sebagai Dr. Ahmad Amin, seorang penganut modernisme
  Islam yang terkenal. (Al-Siba'i, Al-Sunnah, Nurcholish
  Madjid (terj & ed) (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt).
   
 2.Ibid, hal. 27.
   
 3.Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
  (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid
  33, hal.437.
   
  Menurut Hodgson, sesungguhnya yang dikembangkan oleh
  Imam al-Syafi'i adalah prinsip-prinsip yang tendensinya
  sudah terlihat di zaman Nabi sendiri, jadi memiliki
  tingkat otentisitas yang tinggi, dan Hodgson melihat
  pada metodologi itu sebagai salah satu sumber ketentuan
  dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman, khususnya
  zaman modern sekarang ini. Maka berkenaan dengan ini
  menarik sekali keputusan para ulama NU seluruh Indonesia
  di Tambakberas, Jombang, beberapa waktu yang lalu, yang
  menetapkan bahwa penganutan kepada madzhab Syafi'i
  seyogyanya tidak terbatas hanya kepada pendapat-pendapat
  spesifik (qawl) beliau saja, tetapi lebih penting lagi
  ialah kepada metodologi (manhaj, minhaj) yang dirintis
  dan dikembangkannya.
   
 4.Mushthafa Ahmad al-Zarqa, "Taghayyur al-Ahkam bi
  Taghayyur al-Azman," dalam majalah Al-Muslimun,
  Damaskus, No. 8 (Syawal 1373 H/Juni 1954 M), hal. 34.
   
 5."Tarikh al-Qawa'id al-Kulliyyah fi al-Syari'at
  al-Islamiyyah," dalam majalah Al-Muslimun Damaskus, No.
  12 (Syawal 1373 H/Mei 1955 M), hal. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ekspresi merupakan estetika terindah setelah keindahan estetik TUHAN. karenanya ekspresikan setiap apayang kau lihat, dengar, ucap dan rasa agar kau merasakan kehadiran TUHAN