1/04/2009

SEJARAH AWAL PENYUSUNAN (1/3)
  DAN PEMBAKUAN HUKUM ISLAM
  oleh Nurcholish Madjid
 
Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidang-bidang yang
lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
Nabi dan masa tampilnya imam-imam madzhab. Di satu pihak
masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan
munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih
mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian
yang lebih mengarah pada spesialisasi.
 
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para
Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
masa Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai
masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga
masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf
(Klasik).
 
Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini
bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru sifat
transisional masa ini ditandai berbagai gejala kekacauan
pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa dan
kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi
sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya
partisan-partisan politik yang berjuang keras memperoleh
pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim mereka, seperti
Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain
menjadi sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
atau penuturan dan cerita tentang Nabi dan para sahabat.
Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa al-Siba'i
mengetengahkan keterangan di bawah ini.
 
Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara
kemurnian Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya Sunnah itu
serta digunakannya sebagai alat melayani berbagai
kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah
menjadi peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap
'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri
sebelumnya merupakan pendukung 'Ali yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis masa
kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl
al-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat
pada Dinasti Umayyah.
 
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai.
Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh
bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan
Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka.
Maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada
makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,
setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap
al-Qur'an karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan
banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
 
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama yang dituju para
pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah
-dengan perbedaan berbagai kelompok mereka- sebagaimana
dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,
"Ketahuilah bahwa pangkal kebohongan dalam hadits-hadits
tentang keunggulan (tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum
Syi'ah..." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari
kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]
 
Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in -dengan dipimpin
tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun kemudian
membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum Islam melalui fiqh atau "proses pemahaman" yang
sistimatis.
 
WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
 
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan
legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat
kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan
ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara
lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan
yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan
adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang
lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum,
sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi
untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat
wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
 
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para
Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari
semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap
sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab:
al-Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi
sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk
tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu
mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual
untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
 
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre
kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam
pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap
persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan
melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.
 
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap
perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini
al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
 
...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan
zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh
nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun
dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang
menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai
kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah),
urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman
dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]
 
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat
(shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik
mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
 
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum
ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak
keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan
menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas
kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
 
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw.
diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi
pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan
menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada
waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna
berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga
mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash
itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]

PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH

oleh Nurcholish Madjid
 
Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat
kelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadits sebagai
sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada suatu
golongan yang menanamkan dirinya kaum "Inkar al-Sunnah".
Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegang
pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para
ulama dan tokoh Islam.
 
Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibat
kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara
sunnah dan hadits. Sudah jelas, di antara keduanya terdapat
jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang
pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas
daripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa
sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadits.
Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci
al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits, sebagaimana sering
dituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di
antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."
 
Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan dari
hadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut
"sunnah" maka dengan sendirinya akan terbayang padanya
sejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal di
antaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim
(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang lengkapnya
meliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,
al-Turmudzi dan al-Nasa'i. Tapi sebelum mereka sudah ada
seorang kolektor hadits yang amat kenamaan dan berpengaruh
besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas
(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab
hadits al-Muwaththa'.
 
Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada
prinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan.
Tapi ingkar kepada hadits, sekalipun jelas tidak dapat
dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentu
mana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yang
panjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaum
Mu'tazilah. Oleh karena dampak masalah ini dalam usaha
penetapan hukum (tasyri') sangat besar dan penting, maka
kajian kesejarahan tentang evolusi pengertian sunnah --yang
diungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapat
membantu memperjelas persoalan. Perjalanan sejarah
perkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang dan
rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme
yang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang
apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah
itu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikan
kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.
 
PENGERTIAN SUNNAH
 
Sunnah lebih luas daripada hadits, termasuk yang sahih.
Berarti, sunnah tidak terbatas hanya pada hadits. Sekalipun
pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang
kekaburan. Memang, antara sunnah dan hadits terbentang garis
kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara
keduanya tidak dapat dibenarkan.,
 
Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua
setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka
sesungguhnya Nabi hanya menyatakan sesuatu yang amat logis.
Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, orang Islam
tentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam Kitab
Suci, kemudian, kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabi
sendiri memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai
utusan Tuhan, yang secara logis paling paham akan apa yang
dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling
tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi
hal itu mustahil dapat diterima.
 
Pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah itu teladan
beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"
kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan
bentuk reportase atau penuturan tentang apa yang disebabkan
Nabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lain
yang "didiamkan" beliau (yang dapat dapat diartikan sebagai
"pembenaran"). Itulah makna asal kata hadits, yang sekarang
ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif. Namun
demikian, tidak berarti bahwa hadits dengan sendirinya
mencakup seluruh sunnah.
 
Jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi, maka kita
dapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidak
dimasukkan sebagai hadits, seperti kitab-kitab sirah atau
biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan
tingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragam
tindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam
kedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirah
banyak memberi gambaran.
 
Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis
ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam
(berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun
wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah (pada tahun 85
H), dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya beberapa lama
sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.
 
Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentang
riwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitab
al-Maghazi. Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitab
biografi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambaran
tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumber
yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud
selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifat
terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalam
sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai
al-Maghazi tersebut, berhasil membangkitkan semangat
perjuangan Islam, karena ilham teladan baik dari beliau.
Inilah "eksperimen" Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi dalam
menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan "eksperimen" itu pemimpin Islam dari Mesir yang
kemudian terkenal dengan sebutan "Sultan Saladin" itu
mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu
upacara memperingati kelahiran Nabi dengan membaca riwayat
hidup beliau.
 
Sunnah Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhan
kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan
akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang
baik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benar
berharap pada Allah pada Hari Kemudian, serta banyak ingat
kepada Allah" (Q.S. al-Ahzab 33:32). Dan beliau juga
dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlak
amat mulia (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam
hal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorang
yang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.
 
Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab
Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak
perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya
menampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Dari
pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham
tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,
dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:
 
Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.
Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu
daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu
bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu
miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,
janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)
 
Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskan
bebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakan
namamu?! Sebab sesunggahnya bersama kesulitan tentu ada
kemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)
 
Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Dluha turun
kepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang
relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaum
musyrik Makkah bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka
kepadanya. Dari latar belakang turunnya, surat ini juga
menggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalam
perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub,
Allah menghibur beliau dan memberinya dorongan moril, bahwa
Allah samasekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pula
murka.

IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITS
DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
 
Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebih
penting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya,
Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yang
strategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek,
yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asa
atau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek.
Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapai
hasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakin
panjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalam
jangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan dengan
penuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberi
kemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (Janji
Tuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupa
kemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah ke
Madinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadap
Allah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa).
 
Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masa
lampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yang
yatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, dan
miskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya pada
beliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.
Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agar
Nabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentak
peminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akan
nikmat karunia Tuhan.
 
Berkenaan dengan surat al-Syarh, para ahli mengatakan bahwa
wahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan surat
al-Dluha, bahkan merupakan kelanjutannya. Dalam surat ini
Allah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagai
seorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuat
semua beban terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwa
Allah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi,
berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya.
Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akan
membawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandung
kesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentu
akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatan
harus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasa
mengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya.
 
Jadi, seperti telah diutarakan, dari kedua surat pendek yang
banyak dibaca dalam shalat itu dapat disimpulkan gambaran
dinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidup
perjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaran
itu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebut
adalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami oleh
siapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad atau
komitmen pada cita-cita luhur. Oleh karena itu sikap-sikap
yang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul dari
kedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengan
contoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan. Dari situ
kita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kita
mengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diri
Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman.
Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapat
disimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian:
 
  1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah
   
  2.Sadar akan perjuangan jangka panjang,
   
  3.Yakin akan kemenangan akhir
   
  4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana
  semua kesulitan teratasi
   
  5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang
  beruntung
   
  6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat
  karunia-Nya,
 
  7.Bersikap lapang dada
   
  8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan
   
  9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa
  datang yang lebih baik
   
 10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif
   
 11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang
 
Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabi
sebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajian
terhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuh
tentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjang
beliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagai
Utusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabi
itu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi,
seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama
"engkau" dalam suatu format dialog antara Tuhan dan
Utusan-Nya.
 
Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik dan
mendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Suci
daripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporan
dalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentang
tingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat ad
hoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu.
Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalam
kaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi,
namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamik
sehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitas
yang tinggi, dengan demikian bernilai universal. Karena itu
sunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadits,
meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah.
 
PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS
 
Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslim
yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan
hadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena
ingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim.
Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "Ingkar
Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafa
al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan
mantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta
seorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria,
golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam dunia
Islam, dari dahulu sampai sekarang.
 
Sangat menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar hadits
itu di zaman modern, yang disebutkan oleh al-Siba'i sebagai
contoh, dan yang dinilainya banyak membuka pintu bagi orang
lain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits. Tanpa
menyebut namanya secara jelas, al-Siba'i mengutip tokoh itu
yang pandangannya pernah dimuat oleh majalah al-Manar
pimipinan Sayyid Muhammad Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri,
menurut Mushthafa al-Siba'i, adalah seorang muslim yang
bergairah, yang telah tampil membela Islam dengan cara yang
mengagumkan. Tapi pandangannya yang menolak otoritas hadits
telah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar.
 
Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang
menolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan
bahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapan
syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah
(yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam
keabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi
penambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyak
kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Mereka
mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:
 
 1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun
  yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am
  6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup
  seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi
  ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum
  dan membuat syari'ah.
   
 2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan,
  sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar
  telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami
  yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak
  menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk
  ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya
  hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah
  Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya
  dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan
  sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya.
   
 3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw.,
  bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang
  membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman
  al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para
  sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu
  Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad,
  al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak
  suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru
  dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai
  pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad
  ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang
  untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks
  hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan
  sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka,
  sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i,
  karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak
  sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm
  52:28).
   
 4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau
  bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari
  diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan
  bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku;
  dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi
  al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1]
 
Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar pada
hadits itu disebutkan bahwa pembukaan hadits dimulai pada
akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abad
ketiga. Mungkin yang dimaksudkan ialah adanya dorongan
pembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102
H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutan
kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia
adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang
bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang
'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun,
sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.
 
'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din
al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi
yang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karena
keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan
langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika
bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari
"tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.
 
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk
menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi
Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul
seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau
pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij
yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II
melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum
muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan
khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah,
di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn
'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah
Ibn Mas'ud. Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba
inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau
"sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga
merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah"
Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk
Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akan
memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan
seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup.
Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak
disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para
pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan
sunnah dan jama'ah).
 
Mushthafa al-Siba'i amat menghargai kebijakan 'Umar II
berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia
menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi
angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan
al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi
diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka
akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan
pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i,
sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha
pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd
Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2]
 
Tapi, sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dan
kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan
yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan
tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar
rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya
al-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir
peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi
hadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia
oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut
oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275
H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303
H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab
yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian
"sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi
hadits dalam "Kitab yang Enam" itu.

Fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa proses
pengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih,
dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampung
sekitar tiga abad setelah Nabi. Sesudah masa itu memang masih
terdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadits oleh beberapa
pribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selain
dasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesan
Nabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh mereka
yang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadits yang
demikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktu
demikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukan
otoritas hadits.
 
Sebagaimana telah dikutip kembali dari keterangan (kutipan)
Mushthafa al-Siba'i, dasar-dasar argumen menolak otoritas
hadits secara ringkasnya adalah sebagai berikut:
 
 1.Keseluruhan ajaran Islam cukup berdasarkan pada
  al-Qur'an saja, karena telah menegaskan bahwa Kitab
  Suci itu telah memuat segala sesuatu.
   
 2.Allah menjamin terpeliharanya al-Qur'an, tapi tidak
  menjamin hal serupa untuk Hadits.
   
 3.Nabi melarang, sekurangnya menghalangi, penulisan
  hadits di masa beliau, demikian pula para sahabat dan
  para Tabi'un terkenal.
   
 4.Nabi menegaskan agar orang menerima hadits hanya yang
  benar-benar bersesuaian dengan al-Qur'an, dan menolak
  yang lain.
 
Dr. Musthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang
tegar, dengan tandas menolak argumen-argumen itu. Dia
menyatakan:
 
 1.Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi
  hanya dalam garis besar saja.
   
 2.Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha
  pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga
  meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan
  hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum
  muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan
  menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan
  bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak
  bersandar pada penggunaan tulisan).
   
 3.Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un
  dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran
  akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu
  kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat,
  disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis.
  Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi.
  Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi,
  beberapa sahabat telah melakukannya.
 
 4.Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen
  keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika
  benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa
  kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan
  al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa,
 
Hadits yang sahih, meskipun menetapkan ajaran secara
tersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an.
 
Pembelaan al-Siba'i atas sunnah sebagai hadits itu mewakili
pandangan yang sangat umum di kalangan para ulama. Namun ia
tidak memberi kejelasan tentang bagaimana efek kenyataan
sejarah bahwa untuk sampai pada koleksi dan kodifikasi hadits
seperti sekarang ini proses-proses yang amat sulit harus
dilewati, khususnya proses pemisahan mana dari laporan-laporan
hadits itu otentik dan yang palsu. masih tetap diperlukan
adanya argumen yang kukuh dan mendasar untuk pandangan bahwa
klasifikasi yang ada sekarang adalah terpercaya, atau sudah
tidak lagi memerlukan peninjauan kembali. Batu penarung bagi
pandangan ini ialah kenyataan bahwa zaman sekarang ditandai
dengan mudahnya diperoleh bahan bacaan di semua bidang,
termasuk bidang-bidang yang dapat dijadikan landasan kajian
perbandingan ilmu kritik hadits, baik dari segi metodologinya
maupun dari segi hasil-hasil yang telah dicapai. Karena itu
pada zaman sekarang akan lebih mudah bagi mereka yang berminat
secara khusus untuk meneliti kembali hadits-hadits dan membuat
klasifikasi baru tentang sahih-tidaknya matan-matan dan
riwayat-riwayat yang ada. Sebenarnya hal ini dapat sekedar
merupakan pengulangan atau penerapan kembali metodologi Imam
al-Bukhari, tapi dengan dibantu oleh penggunaan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh zaman modern, baik
dari segi perangkat kerasnya (material dan bahan bacaan yang
tersedia) maupun perangkat lunaknya (metodologi kritiknya).
 
Imam al-Bukhari sendiri sekedar meneruskan dan menerapkan
dengan setia teori dan prinsip-prinsip riset hadits yang
diletakkan oleh Imam al-Syafi'i. Dorongan untuk meletakkan
teori dan metodologinya itu ialah keprihatinan al-Syafi'i oleh
adanya kekacauan dan berkecamuknya usaha pemalsuan
laporan-laporan hadits di zamannya, yang laporan-laporan itu
sendiri semula dan kebanyakan bergaya anekdotal tentang
generasi Islam yang telah lewat, mencakup tentang Nabi sendiri
dan para sahabat. Karena itu hadits juga disebut Khabar,
Akhbar, Riwayah, Atsar, dan lain-lain, yang kesemuanya
menunjukkan sisa pengertiannya yang mula-mula, yaitu kabar,
berita, penuturan, peninggalan, dan lain-lain. Maka yang
dilakukan al-Syafi'i mempunyai nilai yang sungguh besar,
dengan pengaruh yang sampai sekarang dirasakan oleh seluruh
umat Islam.
 
Tapi yang telah dilakukan oleh imam al-Syafi'i jauh lebih
banyak daripada sekedar meletakkan dasar-dasar metodologi
penelitian hadits. Tokoh pendiri madzhab yang penganutnya
banyak di negeri kita ini juga diakui jasanya sebagai yang
meletakkan dasar-dasar metodologi penetapan syari'ah, yang
justru terasa semakin relevan dengan keadaan zaman sekarang
ini. Menurut Marshall Hodgson --yang dapat kita anggap sebagai
seorang peninjau netral dan cukup jujur-- al-Syafi'i berjasa
sebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran meletakkan
prinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari'ah.
Hal itu tercermin dalam konsepnya tentang nasikh-mansukh,
yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskan
oleh hukum yang lain dalam Islam, disebabkan adanya
pertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan (dharf), baik
lingkungan ruang (dharf al-makan) maupun lingkungan waktu
(dharf al-zaman). [3]
 
Berdasarkan metodologid al-Syafi'i itu maka terkenal sekali
rumus hukum Islam yang mengatakan bahwa hukum berubah oleh
perubahan zaman dan tempat. Terutama perubahan zaman, semua
ulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawa
perubahan hukum. Prinsip ini tercermin dalam dua kalimat
rumusannya dalam bahasa Arab,
 
[Tulisan Arab]
 
yang artinya, "Perubahan hukum oleh perubahan zaman. Tidak
dapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman). [4]
 
Untuk dapat melaksanakan prinsip amat penting itu tidaklah
mudah. Salah satu yang mesti diperlukan ialah kemampuan
menangkap "pesan zaman", sehingga suatu hukum dapat diterapkan
secara efektif karena relevan dengan pesan zaman itu. Ini
berarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atau
abstraksi dari hukum-hukum yang ada menjadi prinsip-prinsip
umum yang berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Dan
berlakunya suatu prinsip untuk segala zaman dan tempat adalah
berarti kemestian memberi peluang pada prinsip itu untuk
dilaksanakan secara teknis dan kongkret menurut tuntutan ruang
dan waktu. Karena ruang dan waktu berubah, maka tuntutan
spesifiknya pun tentu berubah, dan ini membawa perubahan
hukum. Maka yang berubah bukanlah prinsipnya, melainkan
pelaksanaan teknis dan kongkret hukum itu dalam masyarakat
tertentu dan masa tertentu.
 
Iman al-Syafi'i khususnya, dan madzhab Syafi'i umumnya
meletakkan dasar metodologi generalisasi dan abstraksi
(ta'mim, istiqra, tajrid) tersebut dalam lima cara pendekatan
pada setiap ketentuan hukum, yaitu: 1) semua perkara harus
diperhatikan maksud dan tujuannya; 2) bahaya harus dihilangkan
atau dihindari; 3) adat kebiasaan adalah sumber penetapan
hukum; 4) hal mantap tidak boleh dihapus oleh hal yang
meragukan; 5) kesulitan pelaksanaan harus menghasilkan
kemudahan hukum. Dalam bahasa Arab, kelima prinsip itu diberi
patokan rumusan baku sebagai berikut, [5]
 
[Tulisan Arab]
 
Kemudian, sesuai dengan kebiasaan klasik dalam budaya literer
Islam, kelima prinsip itu oleh seorang penganut madzhab
Syafi'i didendangkan dalam bentuk syair, demikian:
 
[Tulisan Arab]
 
Jika diperhatikan benar-benar metodologi Imam al-Syafi'i itu
maka sesungguhnya terdapat dorongan yang cukup kuat untuk
mendekati suatu ketentuan tekstual, baik dalam Kitab Suci
maupun dalam hadits tidak secara harfiah, melainkan dengan
penarikan ide prinsipil atau fikrah mabda iyyah atau fikrah
ushuliyyah yang dikandungnya, dan yang menjadi inti hikmah
tasyri' dari ketentuan yang ada. Oleh karena tema-tema hadits
umumnya bersifat ad hoc dan lepas dari keseluruhan kepribadian
Nabi, maka abstraksi dan generalisasi dari hadits menghasilkan
problema dan kesulitan yang tidak kecil. Padahal hanya dari
abstraksi dan generalisasi itu kita dapat memahami sunnah
Nabi, dan bukannya sekedar menyamakan begitu saja makna dan
semangat sunnah dengan teks-teks laporan hadits.
 
CATATAN
 
 1.Dr. Mushthafa al-Siba'i, "Al-A'ashir fi wajh al-Sunnah
  Hadits-an" dalam majalah Al-Muslimin, Damaskus, No. 3
  (Syawal 1374 H/Ayyar [Mei 1955]), hal. 24-26.
   
  Meskipun Al-Siba'i tidak menyebutkan nama tokoh Ingkar
  Hadits ini, namun dari bukunya. Al-Sunnah wa Makanatuha
  fi al-Tasyri' al-Islami, nama itu dapat diperkirakan
  sebagai Dr. Ahmad Amin, seorang penganut modernisme
  Islam yang terkenal. (Al-Siba'i, Al-Sunnah, Nurcholish
  Madjid (terj & ed) (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt).
   
 2.Ibid, hal. 27.
   
 3.Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
  (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid
  33, hal.437.
   
  Menurut Hodgson, sesungguhnya yang dikembangkan oleh
  Imam al-Syafi'i adalah prinsip-prinsip yang tendensinya
  sudah terlihat di zaman Nabi sendiri, jadi memiliki
  tingkat otentisitas yang tinggi, dan Hodgson melihat
  pada metodologi itu sebagai salah satu sumber ketentuan
  dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman, khususnya
  zaman modern sekarang ini. Maka berkenaan dengan ini
  menarik sekali keputusan para ulama NU seluruh Indonesia
  di Tambakberas, Jombang, beberapa waktu yang lalu, yang
  menetapkan bahwa penganutan kepada madzhab Syafi'i
  seyogyanya tidak terbatas hanya kepada pendapat-pendapat
  spesifik (qawl) beliau saja, tetapi lebih penting lagi
  ialah kepada metodologi (manhaj, minhaj) yang dirintis
  dan dikembangkannya.
   
 4.Mushthafa Ahmad al-Zarqa, "Taghayyur al-Ahkam bi
  Taghayyur al-Azman," dalam majalah Al-Muslimun,
  Damaskus, No. 8 (Syawal 1373 H/Juni 1954 M), hal. 34.
   
 5."Tarikh al-Qawa'id al-Kulliyyah fi al-Syari'at
  al-Islamiyyah," dalam majalah Al-Muslimun Damaskus, No.
  12 (Syawal 1373 H/Mei 1955 M), hal. 17.

TASAWUF

 oleh Harun Nasution
 
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati
bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan
bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri
dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah
Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya
adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas
masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui
penyucian rohnya.
 
ASAL KATA SUFI
 
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan
dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.
Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
 
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang
  disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan
  diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
  salat dan puasa.
 
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris
  pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh
  orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca
  ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat
  datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha
  membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
 
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama
  Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di
  Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin,
  tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
  memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah,
  sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia
  dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum
  sufi.
 
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)
  yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat.
  Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos
  telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan
  ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang
  terdapat dalam kata tasawuf.
 
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang
  ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah
  yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
  ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini
  melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan
  dari dunia.
 
Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang
banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah
orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari
dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani.
Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim
al-Kufi di Irak (w.150 H).
 
ASAL-USUL TASAWUF
 
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam
mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan
agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
 
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari
rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat
dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.
Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di
padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.
Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.
Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk
sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
 
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran
mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah
suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia
materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh
yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu
tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu
ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada
fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa
pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke
dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang
suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang
terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu
dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
 
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan
filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan
akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga
kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor,
ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri
melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat
mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu
dengan Dia di bumi ini.
 
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam
ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran
al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali
ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh
pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan.
Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di
dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
 
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep
Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,
memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran
menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat
dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan
datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui
kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf
terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia
dengan roh Tuhan.
 
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani
dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang
kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu
adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini
memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul
pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak
ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam
sendiri?
 
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan
manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan
Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika
hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
 
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi
berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat
Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya
kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan
oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka
kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS.
al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja
Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi
jauh, untuk menjumpainya.
 
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya
Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami
tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih
dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di
lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada
bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia
sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui
dirinya mengetahui Tuhannya."
 
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia
masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia
jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat
berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh
mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau
yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi
Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
 
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan.
Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat
bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain
sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku
adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal.
Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun
dikenal."
 
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan
bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau
ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia
dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat
al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
 
Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi
menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga
kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak
memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat
merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak
beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat
Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan
rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
 
JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN
 
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat
melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan
Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang
harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.
Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.
 
Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum
sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut
maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha
keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan
perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut
diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama
puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang
calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat
dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian
diri calon sufi secara berangsur.
 
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama
yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari
dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf
adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat
dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,
kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari
perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha,
yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya
yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau
sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu
panjang.

Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu
zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi
dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil
untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan
dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah,
dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum
hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit
tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia
menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi
digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang
dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya
dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir.
 
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa
menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk
kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,
melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga
akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di
stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi
menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr
al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang
berisi syubhat.
 
Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion
ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya
sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak
meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi
tidak menolak pemberian Tuhan.
 
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion
sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan
perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi
larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar
dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan
Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan
dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Ia sabar menderita.
 
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan
diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak
memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari
ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena
ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia
bersikap seperti telah mati.
 
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari
stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan
ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga
dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada
perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya
bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat
sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat
Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan
Tuhan.
 
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan
tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan
tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru
menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah
sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.
 
PENGALAMAN SUFI
 
Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya
dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa
waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat
meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia
rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat
yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang
dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada
stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam
hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta
Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut,
pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada
Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari
segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
 
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam
al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari
surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat
30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu
cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan
mencintai kamu."
 
Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,
"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui
ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,
Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."
 
Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman
cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah
(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan
memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam
doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula
tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah
dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada
Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena
ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku
kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau
karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari
pandanganku."
 
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di
langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah
berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas
mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku
merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akan
kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya
Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."
 
Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang
kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke
hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh
hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia
menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang
kosong di dalam hatiku untuk benci setan."
 
Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya
dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:
 
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.
 
Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah
mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati
nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman
kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah
benar-benar menjadi sufi.
 
Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860
M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta
ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari
pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun
dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun
melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat
dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena
Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
 
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah
karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak
membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf,
sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa
ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan
dari atas.
 
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal
yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang
berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya
untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,
daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya
untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
 
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar
setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.
Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya
tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia
disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin
besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap
daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat
rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan
ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
 
Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka,
ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh
langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut
ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini
diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali,
pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,
lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali
diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah
mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran
ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
 
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf
dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat
di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,
ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu
yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun
hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk
materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang
memandangnya akan mati karena tak tahan melihat
kecemerlangan dan keindahannya.
 
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata
hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang
mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa
tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada
lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan
dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
 
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al
Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya
menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha
yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya
kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai
ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu
telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan
bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke
stasion ittihad.
 
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih
dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'
adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang
lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf
disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa
(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat
akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,
yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu
hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul
sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang
sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan
timbul takwa.
 
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu
mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran
jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,
tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap
diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs
wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini
terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
 
Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan
melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku
mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan
mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat
aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat
aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun
berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada
diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."
 
Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain
terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula
makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan
pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk
lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah
ittihad."
 
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar
ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut
syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu
Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada
Tuhan selain Allah."
 
Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena
lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan
berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat
Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan
kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
 
Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku
pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku
heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja
Maha Kuasa."
 
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid
telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak
meminta dari Tuhan kecuali Tuhan."
 
Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan
dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang
dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan
Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?"
 
Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya
Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa'
dan ittihad.
 
Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata
berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat
mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya
menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami
lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana."
 
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa
ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan
perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia
tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari
kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan
Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,
sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu
Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun
berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah
Engkau."
 
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang
satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam
ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi
satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai
Aku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Aku
menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau
adalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku."
 
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah
kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu
bihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkan
bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur
dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah
Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu
Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.
 
Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang
diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu
kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi
seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang
subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain
Aku, maka sembahlah Aku."
 
Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan
lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui
dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar
dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari
dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan
tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi,
kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui
lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah."
 
Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,
tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia
adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.
 
Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah
Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan
nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke
sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq"
(Akulah Yang Maha Benar).
 
Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,
tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk
bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya
dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul
diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya,
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dihancurkan.
 
Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid
dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj,
manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan
lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan
bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil
dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam
sesuai dengan bentuk-Nya.
 
Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada
bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.
Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada
syair al-Hallaj sebagai berikut:
 
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
 
Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyak
dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan
ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi
dan terjadilah hulul.
 
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:
 
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.
 
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
 
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,
 
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
 
Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah
al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha
Benar).
 
Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak
mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui
lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan,
 
"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."
 
Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat
kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran
Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum
syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak
menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan
tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada
Tuhan.
 
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan
keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang
diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah
al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah
yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan.
Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah,
sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan
ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi
mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.
 
Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya
Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam
Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah
pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa
al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy
al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
 
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang
berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan
esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan
aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya
berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.
Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
 
Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip
pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi,
kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan
melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk,
adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai
cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata
lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung
pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu
dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
 
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada
hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang
melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di
dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada
hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak
adalah bayangannya.
 
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat
al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang
disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi
tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi,
sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah
transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan
bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri
atau tajalli dari Tuhan.
 
Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya
membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan
terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam
pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan
mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan
Aniyah.
 
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar
dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada
tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih
dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan
diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya.
Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia
menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
 
Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri
Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya,
tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan
yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai
tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi
(pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.
 
Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan,
dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan
diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan
sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi
disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat
dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan
sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat
Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan
dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia
menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan
dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah
bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi
perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat
dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya,
Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi
Muhammad.
 
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan
Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang
mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan
dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan
diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan
Kamil.
 
Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil
bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk
oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk
melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar
yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada
abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul
Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad
ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M),
Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan
Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan
Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah
Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di
Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di
Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.
 
Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang
diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan
sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat
dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar
sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan
antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
 
Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya
kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan
disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga
mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan
tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
 
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat
mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena
pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan
dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani,
tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam
perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan
sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat
Bekhtasyi dan para ulama Turki.
 
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat
dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang
bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk
itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan
dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat
sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran
umat Islam.
 
Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme
yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak
orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang
melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali
spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan
akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi
untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para
pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak
mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.
 
Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di
Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup
kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam
agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak
sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam,
umpamanya aliran Subud di Jakarta.
 
Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry
dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim
adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah
tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari
ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar
dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang
Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat
memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian
dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti
sekarang.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd.,
  1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah
  al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris,
  Gallimard, 1964.

FILSAFAT ISLAM

oleh Harun Nasution
 
Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang
Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.
Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran
antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk
setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.
 
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama
dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan
ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula
terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
 
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang
tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu
golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
 
Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam
teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri
dari teologi rasional ini ialah:
 
 1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka
  tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
  yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
  ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
  arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
  arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
  tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
  dalam memahami wahyu.
   
 2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang
  kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia
  dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,
  mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam
  kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara
  mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham
  qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
  free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
  manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
  maupun pemikiran.
   
 3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan
  konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
  yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
  Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
  keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
  al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
  perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
  menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
  dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
 
Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan
kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi
juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
 
Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M)
satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas
mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada
pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang
yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga
menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.
Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan
agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai
argumen-argumen rasional.
 
Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada
"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia
dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.
 
Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha
memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya
konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di
luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah
benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah
jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk jenis.
 
Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan
filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi
konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,
Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya
yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan
terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti
banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi
esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
 
Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi
(al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir
tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau
energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya
yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang
diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
 
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:
 
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
 
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan
Akal.
 
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di
zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.
 
Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat
emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
 
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi
melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.
 
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau
nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan
tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan
sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
 
Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,
apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali.
Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada
pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut
al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran
yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia
membagi jiwa kepada tiga bagian:
 
 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
  tumbuh dan berkembang biak.
   
 2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah
  dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan
  pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
  pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra
  dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
   
  i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang
  diperoleh pancaindra.
   
  ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar
  dari materi.
   
  iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
   
  iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang
  terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
   
  v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
   
 3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu
  berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
   
  a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal
  dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam
  jiwa binatang.
   
  b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang
  tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan
  malaikat.
 
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang
akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia
terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu
Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal
teoritis akan berkembang dengan baik.
 
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
 
 1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi
  untuk menangkap arti-arti murni.
   
 2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap
  arti-arti murni.
   
 3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak
  menangkap arti-arti murni.
   
 4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya
  menangkap arti-arti murni.
 
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki
filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti
murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
 
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga
yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh
terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam
hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang
mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di
dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk
membawa manusia kepada kesempurnaan.
 
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi
perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa
tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya
tubuh kembali menjadi tanah.
 
Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan
setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat
kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di
atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap
arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya
makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau
akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi
pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam
menangkap arti-arti murni.
 
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh
karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti
dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh
balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat.
Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya
tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang
bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan
diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa
tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah
kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah
dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi
kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.
 
Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi
perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan
jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.
 
Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam.
Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran
Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis
(al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorang
Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat
Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.
 
Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasi
yang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula
dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena
Tuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung
dengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang
Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui
juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan
mengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, II
dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II
dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan
yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa
berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani
tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang
sains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum
alam.
 
Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan
al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam.
Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka
kepada kekufuran, yaitu:
 
  1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
   
  2. Pembangkitan jasmani tak ada
   
  3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
 
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapat
al-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yang
wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidak
pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak
diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat
dalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada
yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah
pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham
syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut
tak dapat diampuni Tuhan.
 
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta
yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan
ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam
tauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsuf
mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah
yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yang
percaya bahwa alam ini qadim.
 
Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan
teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya
pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin
"Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?.
Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya
pertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atas
berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani
dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.
 
Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui
perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan
falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an.
Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am:
Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.
 
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian
timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi
falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali
mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai
hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu
sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang
menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa
oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu
tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu
jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan
sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang
kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.
 
Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari
bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari
hal-hal
 
 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah
  sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti
  lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti
  tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan
  pemikiran ilmiah dan filosofis.
   
 2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini
  merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang
  belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi
  masih banyak bergantung pada orang lain untuk
  membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan
  paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada
  kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap
  statis.
   
 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari
  paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini
  diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan
  menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum
  alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah
  kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak
  sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi
  biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak
  Tuhan.
 
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada
berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana
halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,
teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam
bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman
al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad
sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf
Islam.
Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol
Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah
serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang
berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat
sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
 
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di
suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai
kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari
Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.
 
Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut
al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
 
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai
permulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis,
alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada
sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika
itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari
tiada atau nihil.
 
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa
sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di
sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,
 
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
 
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan
langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari
Ha Mim menyebut pula,
 
Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.
 
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta
uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'
mengatakan pula,
 
Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit
dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami
pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.
 
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya
berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda
yang berlainan.
 
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat
al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat
hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an
sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf
lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata
Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada,"
seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti
yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun,
menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah.
Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada"
tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti
disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima
konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada,"
kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi
ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal
bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan
menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan
yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi
susunannya adalah baru (hadis).
 
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa
kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran
filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan,
tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan
terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau
sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan
qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta
dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus
menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan
demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi
adalah ciptaan Tuhan,
 
Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini
tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
 
Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi
rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi
balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit.
 
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari
kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan
demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang
lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi
dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi
asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini
Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi
dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan
diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah
seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai
dengan kandungan al-Qur'an.
 
Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk
mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya
alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan
pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing
tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi
pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali.
 
Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang
terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak
pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan
mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan
materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat
immateri dan tak mempunyai pancaindra.
 
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam
Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal
itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam
ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia
menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat
adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia
mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah
pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
 
Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat
untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak
tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya
pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan
kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari
filsafat mereka.
 
Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,
menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada
pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan
kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian
akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka
dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah
meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan
kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti
tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada
kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
 
Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan
dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi.
Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana
dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah
kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat
benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai
kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan
pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.
 
Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol
mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya
hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada
1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari
Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,
hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam
bagian barat.
 
Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah,
teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa
jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional,
filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang
abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam
bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di
atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn
Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional
mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti
al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 
De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.
Jones, London, Luzac & Co., 1970.
 
Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.
 
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.
 
Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,
1961.
 
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1983.
 
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.
 
Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.
 
Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.
 
O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,
London, Routledge & Kegan Paul, 1964.
 
Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,
1963.