KARYA HARUN NASUTION
Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
Filsafat Agama (1973)
Islam Rasional (1995)
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
KARYA DELIAR NOER
Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
Islam & masyarakat (2003)
Islam & politik (2003)
Mohammad Hatta, hati nurani bangsa 1902-1980 (2002)
Membincangkan tokoh-tokoh bangsa (2001)
Mencari Presiden (1999)
Aku bagian ummat, aku bagian bangsa : otobiografi Deliar Noer (1996)
Mohammad Hatta : biografi politik (1990)
Culture, philosophy, and the future : essays in honor of Sutan Takdir Alisjahbana on his 80th birthday (1988).
Perubahan, pembaruan, dan kesadaran menghadapi abad ke-21 (1988).
Partai Islam di pentas nasional 1945-1965 (1987).
Administrasi Islam di Indonesia (1983)
Islam, Pancasila dan asas tunggal (1983).
Mengenang Arief Rahman Hakim (1983).
Bunga rampai dari Negeri Kanguru (1981)
Administration of Islam in Indonesia (1978).
Sekali lagi, masalah ulama-intelektuil atau intelektuil-ulama: suatu tesis buat generasi muda Islam (1974)
Guru sebagai benteng terakhir nilai-nilai ideal; tuntutan : bekerja tertib (1973)
The modernist Muslim movement in Indonesia, 1900-1942 (1973)
Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (terjemahan) (1990)
Beberapa masalah politik (1972)
IKIP D Sewindu : pidato/laporan Rektor pada Dies Natalis ke VIII IKIP D, diutjapkan pada tanggal 20 Mei 1972 (1972)
Kitab tuntunan untuk membuat karangan ilmiah, termasuk skripsi, (1964).
The rise and development of the modernist Muslim movement in Indonesia during the Dutch colonial period 1900-1942 (1963).
Partisipasi dalam pembangunan (1977)
Pengantar ke pemikiran politik (1965)
M. Nasroen Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967)
karya Soenoto
Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987).
karya R.Parmono
Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).
karya Jakob Soemardjo
Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN: 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).
Mpu Prapañca (kakawin Nāgarakṛtâgama)
Empu Tantular (kakawin Sutasoma, kakawin Arjunawijaya)
karya HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)
1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
2. Si Sabariah. (1928)
3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).
7. Hikmat Isra' dan Mikraj.
8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.
9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
10. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.
11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
13. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
18. Tuan Direktur 1939.
19. Dijemput mamaknya,1939.
20. Keadilan Ilahy 1939.
21. Tashawwuf Modern 1939.
22. Falsafah Hidup 1939.
23. Lembaga Hidup 1940.
24. Lembaga Budi 1940.
25. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepun 1943).
26. Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
27. Negara Islam (1946).
28. Islam dan Demokrasi,1946.
29. Revolusi Pikiran,1946.
30. Revolusi Agama,1946.
31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
33. Didalam Lembah cita-cita,1946.
34. Sesudah naskah Renville,1947.
35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
37. Ayahku,1950 di Jakarta.
38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
42. Kenangan-kenangan hidup 2.
43. Kenangan-kenangan hidup 3.
44. Kenangan-kenangan hidup 4.
45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
50. Pribadi,1950.
51. Agama dan perempuan,1939.
52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
54. Pelajaran Agama Islam,1956.
55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.
58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
71. Himpunan Khutbah-khutbah.
72. Urat Tunggang Pancasila.
73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
74. Sejarah Islam di Sumatera.
75. Bohong di Dunia.
76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
77. Pandangan Hidup Muslim,1960.
78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
79. [Tafsir Al-Azhar][1] Juzu' 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.
KARYA Nurcholish Madjid
* The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
* (“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
* “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
* “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
* Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
* Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
* Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
* Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
* Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
* Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
* Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
* Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
* “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
* IslamicThoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
* “Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
* Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
* Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)
* Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jum'at di Paramadina) (Jakarta:Paramadina, --)
KARYA Musa Asy'arie
* NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan(2005) - LESFI
* Islam Keseimbangan (2005) - LESFI
* Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan ( 2002) - LESFI
* Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual (2001) - LESFI
* Keluar Dari Krisis Multi Dimensional (2001) - LESFI
* Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir (1999) - LESFI
* Filsafat Islam tentang Kebudayaan (1999) - LESFI
* "Islam Etos Kerja dan Budaya Jawa", dalam Ruh Islam dan Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa (1996) - LESFI
* "Konsep Qur’anik tentang Strategi Kebudayaan", dalam Abdul Basir Solissa (ed.), Alquran dan Pembinaan Budaya: Dialog dan Transformasi (1993) - LESFI
* Menyelami Kebebasan Manusia (1993) - INHIS dan PUSTAKA PELAJAR
* "Filsfat Islam: Suatu Tinjauan Ontologis", dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam: kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Prospektif (1992) - LESFI
* Manusia Sebagai Pembentuk Kebudayaan dalam Al-quran (1991) - LESFI
* "Jalan Islami dalam Peta Kebudayaan", dalam Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan (1991) - LESFI
KARYA TAN MALAKA
* Menuju Republik Indonesia
* Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
* Madilog
* Gerpolek
KARAYA Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara
# ejak sebagai pemikir dibukukan dari siaran-siaran radio RRI dan renung filsafatnya dalam buku Pertjikan Filsafat (PT Pembangunan, Jakarta, 1962).
# Kumpulan kuliah-kuliahnya disatukan dalam Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969 Cet I dan 1975 Cet II.
# Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Manusia, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1980.
KARYA Kees Bertens
* Etika
* Psikoanalisis Sigmund Freud (2006) sebagai editor dan penerjemah
* Aborsi sebagai Masalah Etika (2002)
* Perspektif Etika (2001)
* Pengantar Etika Bisnis (2000)
* Membahas Kasus Etika Kedokteran (1996)
KARYA Dr. Gabriel Possenti Sindhunata. SJ
* Putri Cina , Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2007)
* Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas
* Kambing Hitam:Teori Rene Girard,Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2006)
* Burung-burung di Bundaran HI,Penerbit Buku Kompas
* Ekonomi Kerbau Bingung, Penerbit Buku Kompas
* Bola di Balik Bulan, Penerbit Buku Kompas (2002)
* Bola-bola Nasib, Penerbit Buku Kompas
* Air Mata Bola, Penerbit Buku Kompas
* Ilmu Ngglethek Prabu Minohek(2004)
* Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) - editor
* Air Kata-kata (2003)
* Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
* Long and Winding Road, East Timor (2001)
* Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) - editor
* Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
* Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) - editor
* Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000)
* Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
* Bisikan Daun-daun Sabda (2000)
* Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000)
* Bayang-bayang Ratu Adil (1999)
* Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) - editor
* Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) - editor
* Cikar Bobrok (1998)
* Mata Air Bulan (1998)
* Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) - editor
* Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998)
* Semar Mencari Raga (1996)
* Aburing kupu-kupu kuning (1995)
* Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
* Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) - disertasi
* Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
* Anak Bajang Menggiring Angin (1983)
KARYA Dr. Gadis Arivia
Menuju Filsafat Berperspektif Feminis, Gadis Arivia, YJP, 2003
12/16/2008
12/12/2008
KH. IDHAM CHOLID
Nama:
KH Idham Chalid
Lahir:
Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921
Agama:
Islam
Karir:
- Wakil Perdana Menteri II Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 - 14 Maret 1957)
- Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto
- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 1973-1978
- Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 1978-1983
Organisasi:
- Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), 1955-1984
- Ketua Partai Masyumi
- Pendiri/Ketua Partai NU, 1952
- Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Penghargaan:
- Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo
Alamat Rumah:
Jalan Fatmawati, Jakarta SelatanUlama & Politisi Pelaku Filosofi Air
KH Idham Chalid kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia seorang tokoh Indonesia yang pernah menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.
Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis.
Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.
Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya.
Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Chalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.
Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.
Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi berjudul "Idham Chalid: Guru Politik Orang NU" yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air.
"Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke temapat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia. (Hal 55)
Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air, Idham Chalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi: "Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah", di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.
Buku otobiografi Idham Chalid itu diterbitkan Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) yang dipimpin Arief Mudatsir Mandan, yang juga anggota Komisi I DPR dari PPP, juga selaku editor buku tersebut. Idham Chalid sendiri tengah terbaring sakit di rumahnya Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.
“Saya kira tidak ada tokoh yang bisa seperti beliau. Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP,” kata Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi sosok Idham Chalid, saat memberi sambutan pada acara peluncuran buku tersebut.
”Beliau itu moderat, bisa diterima di ’segala cuaca’, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia berada di tengah titik ekstrem yang ada,” ujar Kalla dihadapan sejumlah undangan, antara lain Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan sejumlah anggota kabinet dan DPR.
Menurut Jusuf Kalla, sikapnya yang moderat hanya bisa dijalankan oleh orang yang santun. "Hanya orang santunlah yang bisa bersikap moderat,” puji Jusuf Kalla untuk menegaskan bahwa Idham Chalid merupakan sosok ulama dan politisi yang moderat dan santun. Itulah sebabnya, ia bisa diterima di berbagai era politik dan kepemimpinan bangsa.
Menurut Wapres, jika berada di titik yang sama ekstremnya, maka selain demokrat, sosok politik orang yang menjalani itu sudah pasti santun. ”Karena itu, sikap yang santun bisa menjaga suasana kemoderatan,” katanya.
Idham Chalid yang memulai karir politik dari anggota DPRD Kalsel, seorang ulama karismatik, yang selama 28 tahun memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada era pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto dan mantan Ketua DPR/MPR. Idham juga pernah menjadi Ketua Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai Nahdlatul Ulama dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara itu, editor buku, Arief Mudatsir Mandan, mengemukakan, Idham Chalid satu-satunya Ketua Umum PBNU yang paling lama dan bukan ”berdarah biru” NU. Menurutnya, selama kepemimpinan Idham, NU tidak pernah bergejolak. Kendati ia sering dinilai lemah, tetapi sebenarnya itulah strateginya sehingga bisa diterima berbagai zaman,” ujar Arief Mudatsir Mandan.
TAN MALAKA
Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir Nagari Pandam
Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 - wafat Jawa Timur, 21 Februari
1949 [1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang
pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang
militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran
yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh
revolusioner yang legendaris.
Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun
pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia.
Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan
kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar
Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh
penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas
disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam
membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti
penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi
nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.
Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI)
Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan
modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tokoh ini juga adalah orang yang mendalangi terjadinya pergolakan sosial di
wilayah Surakarta setelah pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang
berakibat hilangnya status Daerah Istimewa bagi bekas wilayah Kasunanan
Surakarta dan Praja Mangkunagaran.Riwayat
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah
perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan
perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal
pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun
ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan
partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin,
Moskwa dan Belanda.Perjuangan
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan
semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak
mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi
dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam
pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu
pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI
(Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta
ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara,
jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang
pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi
pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah
sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan
alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan
mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi,
bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan
kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk
perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk
mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan
sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin
besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat
Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan
ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia
Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran
sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat
melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua
gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan
simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan
diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan
revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia
tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik
tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan
partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan
pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis
Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di
kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian
tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di
PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab
yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya
memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI,
Sardjono-Alimin-Musso.
Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat
bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu
itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil
di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak
penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik
ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang
dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh
Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan
mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang
sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama
bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan
beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan
Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai
Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis
"Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual
di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di
Kowloon, Hong Kong, April 1925.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik
Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington
merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau
Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina
pecah…."Madilog
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu
bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan
urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah
fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang
pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan.
Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif
sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah
bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika
fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu
pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat
menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia.
Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan,
sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara
tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara
berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia
cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang
kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai
kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan
benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian,
sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.Pahlawan
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan
Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah
diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di
Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka
dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia
akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari
hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan
Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya,
mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela
Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut
terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang
menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas
perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia
Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa
Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa
Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden
Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan
kemerdekaan Nasional.
[sunting]
Tan Malaka dalam fiksi
Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama
beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan
petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan
kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena
kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan
polisi rahasia internasional.
Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona
yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah
sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel,
yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.
Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI
dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky),
Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan
Soebakat (Soe Beng Kiat).
Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia,
terutama di Sumatera.
Beberapa judul kisah Patjar Merah:
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)
[sunting]
Buku
Dari Pendjara ke Pendjara
Menuju Republik Indonesia
Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
Madilog
Gerpolek
SOEKARNO
Ir. Soekarno1 (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta,
21 Juni 1970 dalam umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang
menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk
memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali
Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan
Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial
itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal
Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar
tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong
kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September.
Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang
anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan
kepresidenan kepada Soeharto.Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden
Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu
Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1].
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur.
Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said
Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke
Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat
Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin
Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno
kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School
(sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung,
Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang
saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Keluarga Soekarno
Istri Soekarno
Oetari
Inggit Garnasih
Fatmawati
Hartini
Ratna Sari Dewi Soekarno (nama asli: Naoko Nemoto)
Haryati
Putra-putri Soekarno
Guruh Soekarnoputra
Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
Guntur Soekarnoputra
Rachmawati Soekarnoputri
Sukmawati Soekarnoputri
Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung.
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan
pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda
pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia
Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo),
yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan
Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan
oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat
dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad
Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan"
keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya
Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus
memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan
lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk
menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti
Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh
seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya
disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional
bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan
Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang
berbahaya.
Soekarno diantara Pemimpin Dunia.JPG
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks
proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama
dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan
sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia
termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk
menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh
Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang
dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang
kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan
Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu
berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang
sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi,
pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat
Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat
Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam
kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari
delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia
Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa
Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta
dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air
Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana,
Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta
segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia
terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan
pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak
dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang
berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik
Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan
tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal
turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al
Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat
oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada
tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden
dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat
menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000
rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata
lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip
Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto
setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga
berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang
dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris)
meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir
Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti
wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku
kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama
revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi
semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara
dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu
terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah
bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik
Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan
Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa
Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden
Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara
ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia
internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta
adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat
menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Soekarno dan Joseph Broz Tito
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai
Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri
RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang
kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh
rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17
Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden
Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan
Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan
Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya
kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan
rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh
bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat
Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya
sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan
menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh
bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di
kalangan Angkatan Udara.
Soekarno dan John F Kennedy
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia
Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum
merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan
presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan
Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung
dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom
waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan
imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya
perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia
internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama
Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad
Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia
mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat
jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan
sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih
dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak
penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat
atau mengenal akan Indonesia.
Soekarno dan Jawaharlal Nehru
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia
internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu
dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni
Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao
Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil
Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari
kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan
separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya,
pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat
"memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sakit hingga meninggal Bagian ini membutuhkan pengembangan
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta,
setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya
dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut,
karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari
seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.
Peninggalan Bagian ini membutuhkan pengembangan
Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang
bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.[2] Penerbitan itu
bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan "kunjungan
Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".
Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo.[3] Ketika
masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang
Jawa[rujukan?]; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno[rujukan?].
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti
olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan
ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam
tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang
tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh
diubah[rujukan?].
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed
Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke
Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil
Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di
Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama
keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan
nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia
bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah
haji.[4]
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama
Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang
melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan
negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
SOEHARTO
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di
Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari
2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua,
menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang
bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini
menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi
presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya
Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa
kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil
dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi
kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur,
dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15
milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena
kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia
meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27
Januari 2008.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak,
yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy),
dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan
kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton,
kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok
dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di
Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya
yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret)
hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai
simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas
sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja
Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro
Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir
dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas
saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat .
Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di
Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .
Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala
yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur,
Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas
besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto
diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat
mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan
Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap
kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh
Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut
Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat
sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya
kelak.Gerakan 30 September
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan,
Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain
menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H.
Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala
Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski
menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan,
Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba
menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk
menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober
1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan
Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah
mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat
tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang
berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan
hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini
diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah
11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan
mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang
Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan
sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno
dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik
Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara
Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan
akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan
terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan
CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia
dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been
Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di
tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul
keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang
peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang
bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka
membebaskan sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia
setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada
tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan
bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat
buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan
Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia
menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan
intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan
Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam
pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai
terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut
"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA.
Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto
mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur,
dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya
alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan
dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi
dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada
1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa
Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh
MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat
sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara
langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan
satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi
salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun
kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak
dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini
adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang
luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal
ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai
asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai
asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan
melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem
kepartaian.Meredam oposisi
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution
menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi
militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan,
termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi
sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang
permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto.
Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan
Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib
dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa
bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan
rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan
kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU
ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan
ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin
pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang
diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang
Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi
angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung
dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik
pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung
kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai
balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak
pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap
pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi
sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat
dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang
cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan
barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga
mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan
Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan
bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju)
yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap
turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor
Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI
yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga
internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem
trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan
pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997.
Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada
tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada
tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap
sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di
Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan
sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap
penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas
tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam
perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah
istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai
ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena
pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas
ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan
politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian
pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat
yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan
dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan
menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan
Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi
kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada
saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi
berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan
"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai
yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh
karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan
Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan
Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni
Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta
kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang
campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15
Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut
dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada
1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini
terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan
yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai
resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai
"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi,
para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya di televisi.
Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan:
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia
telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun
yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika
ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh
dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden
pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap
memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret
1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer,
serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan
meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari
keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal
2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9
saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang
pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah
terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan
15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti,
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan
Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan
Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi
fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu
dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini
lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni
2006.Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak
mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari
Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham
komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur
sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya
bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente
/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan
merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban
jiwa sipil.[Mei 2008]
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye
Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki
secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang
nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit
sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang
bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada
awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah
(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin
juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9
tahun.
Bidang Perekonomian
Wafat Soeharto
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari
2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak
Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah
dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran
Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi
Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto
tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat
kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan
yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan
kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika
iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian
kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan
Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla
dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang
ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28
detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan
belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji
Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan
Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara
Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di
Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari
2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua,
menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang
bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini
menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi
presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya
Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto
digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa
kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil
dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi
kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur,
dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15
milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena
kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia
meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27
Januari 2008.
Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak,
yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy),
dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan
kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton,
kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok
dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di
Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya
yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret)
hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai
simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas
sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja
Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.
Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro
Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir
dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas
saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat .
Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di
Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .
Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala
yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur,
Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas
besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto
diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
hingga 1965.
Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat
mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan
Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap
kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh
Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut
Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat
sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya
kelak.Gerakan 30 September
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan,
Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain
menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H.
Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala
Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski
menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam
peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan,
Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba
menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk
menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober
1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan
Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah
mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat
tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang
berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan
hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini
diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah
11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan
mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang
Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan
sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno
dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik
Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara
Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan
akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan
terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan
CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia
dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been
Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di
tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul
keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State
Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang
peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang
bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka
membebaskan sumber daya di militer.
Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia
setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada
tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan
bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat
buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan
Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia
menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan
intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan
Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam
pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai
terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut
"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA.
Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto
mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur,
dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya
alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan
dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi
dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada
1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa
Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh
MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat
sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara
langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan
satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi
salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun
kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak
dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini
adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang
luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal
ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai
asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai
asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan
melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem
kepartaian.Meredam oposisi
Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution
menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi
militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan,
termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi
sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang
permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto.
Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan
Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib
dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa
bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan
rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan
kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU
ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan
ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin
pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang
diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang
Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi
angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung
dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik
pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung
kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai
balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak
pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap
pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi
sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat
dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang
cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan
barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga
mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan
Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan
bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju)
yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun
pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap
turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor
Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI
yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga
internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO.
Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem
trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan
pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997.
Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada
tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada
tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap
sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan
Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di
Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan
sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap
penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas
tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam
perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah
istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai
ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena
pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas
ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan
politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian
pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat
yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan
dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan
menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan
Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto
menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi
kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada
saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi
berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan
"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai
yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh
karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai
Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan
Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan
Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni
Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang
kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta
kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang
campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh
Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15
Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut
dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada
1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini
terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah
pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai,
beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan
yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai
resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai
"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi,
para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya di televisi.
Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan:
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia
telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun
yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika
ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh
dan mendetail dari IMF.
Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden
pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap
memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret
1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer,
serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan
meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini
merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.
Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora.
Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995.
Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari
keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal
2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9
saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang
pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah
terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan
15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti,
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan
Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan
Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi
fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu
dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini
lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni
2006.Peninggalan
Bidang Politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak
mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari
Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham
komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur
sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya
bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente
/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan
merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban
jiwa sipil.[Mei 2008]
Bidang Kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye
Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki
secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang
nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit
sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang
bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada
awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah
(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin
juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9
tahun.
Bidang Perekonomian
Wafat Soeharto
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari
2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak
Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah
dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP), Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran
Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi
Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto
tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat
kegagalan multi organ.
Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan
yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan
kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika
iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian
kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan
Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla
dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang
ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28
detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan
belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji
Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan
Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara
Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim
Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana
Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu
sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14
WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di
liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut
dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana
Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu
sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14
WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di
liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut
dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Langganan:
Postingan (Atom)