12/16/2008

"REFERENSI PENATAAN INTELEKTUAL"

KARYA HARUN NASUTION
Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
Filsafat Agama (1973)
Islam Rasional (1995)
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)

KARYA DELIAR NOER
Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
Islam & masyarakat (2003)
Islam & politik (2003)
Mohammad Hatta, hati nurani bangsa 1902-1980 (2002)
Membincangkan tokoh-tokoh bangsa (2001)
Mencari Presiden (1999)
Aku bagian ummat, aku bagian bangsa : otobiografi Deliar Noer (1996)
Mohammad Hatta : biografi politik (1990)
Culture, philosophy, and the future : essays in honor of Sutan Takdir Alisjahbana on his 80th birthday (1988).
Perubahan, pembaruan, dan kesadaran menghadapi abad ke-21 (1988).
Partai Islam di pentas nasional 1945-1965 (1987).
Administrasi Islam di Indonesia (1983)
Islam, Pancasila dan asas tunggal (1983).
Mengenang Arief Rahman Hakim (1983).
Bunga rampai dari Negeri Kanguru (1981)
Administration of Islam in Indonesia (1978).
Sekali lagi, masalah ulama-intelektuil atau intelektuil-ulama: suatu tesis buat generasi muda Islam (1974)
Guru sebagai benteng terakhir nilai-nilai ideal; tuntutan : bekerja tertib (1973)
The modernist Muslim movement in Indonesia, 1900-1942 (1973)
Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (terjemahan) (1990)
Beberapa masalah politik (1972)
IKIP D Sewindu : pidato/laporan Rektor pada Dies Natalis ke VIII IKIP D, diutjapkan pada tanggal 20 Mei 1972 (1972)
Kitab tuntunan untuk membuat karangan ilmiah, termasuk skripsi, (1964).
The rise and development of the modernist Muslim movement in Indonesia during the Dutch colonial period 1900-1942 (1963).
Partisipasi dalam pembangunan (1977)
Pengantar ke pemikiran politik (1965)

M. Nasroen Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967)

karya Soenoto
Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987).

karya R.Parmono
Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).

karya Jakob Soemardjo
Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN: 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).

Mpu Prapañca (kakawin Nāgarakṛtâgama)
Empu Tantular (kakawin Sutasoma, kakawin Arjunawijaya)

karya HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)
1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
2. Si Sabariah. (1928)
3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).
7. Hikmat Isra' dan Mikraj.
8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.
9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
10. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.
11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
13. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
18. Tuan Direktur 1939.
19. Dijemput mamaknya,1939.
20. Keadilan Ilahy 1939.
21. Tashawwuf Modern 1939.
22. Falsafah Hidup 1939.
23. Lembaga Hidup 1940.
24. Lembaga Budi 1940.
25. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepun 1943).
26. Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
27. Negara Islam (1946).
28. Islam dan Demokrasi,1946.
29. Revolusi Pikiran,1946.
30. Revolusi Agama,1946.
31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
33. Didalam Lembah cita-cita,1946.
34. Sesudah naskah Renville,1947.
35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
37. Ayahku,1950 di Jakarta.
38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
42. Kenangan-kenangan hidup 2.
43. Kenangan-kenangan hidup 3.
44. Kenangan-kenangan hidup 4.
45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
50. Pribadi,1950.
51. Agama dan perempuan,1939.
52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
54. Pelajaran Agama Islam,1956.
55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.
58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
71. Himpunan Khutbah-khutbah.
72. Urat Tunggang Pancasila.
73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
74. Sejarah Islam di Sumatera.
75. Bohong di Dunia.
76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
77. Pandangan Hidup Muslim,1960.
78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
79. [Tafsir Al-Azhar][1] Juzu' 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.

KARYA Nurcholish Madjid
* The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
* (“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
* “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
* “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
* Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
* Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
* Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
* Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
* Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
* Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
* Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
* Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
* “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
* IslamicThoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
* “Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
* Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
* Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)
* Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jum'at di Paramadina) (Jakarta:Paramadina, --)

KARYA Musa Asy'arie
* NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan(2005) - LESFI
* Islam Keseimbangan (2005) - LESFI
* Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan ( 2002) - LESFI
* Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual (2001) - LESFI
* Keluar Dari Krisis Multi Dimensional (2001) - LESFI
* Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir (1999) - LESFI
* Filsafat Islam tentang Kebudayaan (1999) - LESFI
* "Islam Etos Kerja dan Budaya Jawa", dalam Ruh Islam dan Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa (1996) - LESFI
* "Konsep Qur’anik tentang Strategi Kebudayaan", dalam Abdul Basir Solissa (ed.), Alquran dan Pembinaan Budaya: Dialog dan Transformasi (1993) - LESFI
* Menyelami Kebebasan Manusia (1993) - INHIS dan PUSTAKA PELAJAR
* "Filsfat Islam: Suatu Tinjauan Ontologis", dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam: kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Prospektif (1992) - LESFI
* Manusia Sebagai Pembentuk Kebudayaan dalam Al-quran (1991) - LESFI
* "Jalan Islami dalam Peta Kebudayaan", dalam Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan (1991) - LESFI

KARYA TAN MALAKA
* Menuju Republik Indonesia
* Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
* Madilog
* Gerpolek

KARAYA Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara
# ejak sebagai pemikir dibukukan dari siaran-siaran radio RRI dan renung filsafatnya dalam buku Pertjikan Filsafat (PT Pembangunan, Jakarta, 1962).
# Kumpulan kuliah-kuliahnya disatukan dalam Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1969 Cet I dan 1975 Cet II.
# Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Manusia, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1980.

KARYA Kees Bertens
* Etika
* Psikoanalisis Sigmund Freud (2006) sebagai editor dan penerjemah
* Aborsi sebagai Masalah Etika (2002)
* Perspektif Etika (2001)
* Pengantar Etika Bisnis (2000)
* Membahas Kasus Etika Kedokteran (1996)

KARYA Dr. Gabriel Possenti Sindhunata. SJ
* Putri Cina , Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2007)
* Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006)
* Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas
* Kambing Hitam:Teori Rene Girard,Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2006)
* Burung-burung di Bundaran HI,Penerbit Buku Kompas
* Ekonomi Kerbau Bingung, Penerbit Buku Kompas
* Bola di Balik Bulan, Penerbit Buku Kompas (2002)
* Bola-bola Nasib, Penerbit Buku Kompas
* Air Mata Bola, Penerbit Buku Kompas
* Ilmu Ngglethek Prabu Minohek(2004)
* Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) - editor
* Air Kata-kata (2003)
* Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
* Long and Winding Road, East Timor (2001)
* Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) - editor
* Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
* Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) - editor
* Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000)
* Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
* Bisikan Daun-daun Sabda (2000)
* Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000)
* Bayang-bayang Ratu Adil (1999)
* Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) - editor
* Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) - editor
* Cikar Bobrok (1998)
* Mata Air Bulan (1998)
* Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) - editor
* Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998)
* Semar Mencari Raga (1996)
* Aburing kupu-kupu kuning (1995)
* Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
* Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) - disertasi
* Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
* Anak Bajang Menggiring Angin (1983)

KARYA Dr. Gadis Arivia
Menuju Filsafat Berperspektif Feminis, Gadis Arivia, YJP, 2003

12/12/2008

KH. IDHAM CHOLID


Nama:
KH Idham Chalid 
Lahir:
Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921
Agama:
Islam

Karir: 
- Wakil Perdana Menteri II Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956 - 14 Maret 1957) 
- Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto
- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 1973-1978 
- Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 1978-1983 

Organisasi:
- Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), 1955-1984
- Ketua Partai Masyumi
- Pendiri/Ketua Partai NU, 1952
- Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 

Penghargaan:
- Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo

Alamat Rumah:
Jalan Fatmawati, Jakarta SelatanUlama & Politisi Pelaku Filosofi Air


KH Idham Chalid kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia seorang tokoh Indonesia yang pernah menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif dan ormas (Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama). Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.

 

Laksana air, peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Al-Azhar University, Kairo, ini seorang tokoh nasional, yang mampu berperan ganda dalam satu situasi, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dan akomodatif dengan tetap berpegang pada tradisi dan prinsip Islam yang diembannya. Demikian pula sebagai politisi, ia mampu melakukan gerakan strategis, kompromistis, bahkan pragmatis. 

Dengan sikap dan peran ganda demikian, termasuk kemampuan mengubah warna kulit politik dan kemampuan beradaptasi terhadap penguasa politik ketika itu, ulama dari Madrasah Pondok Modern Gontor, ini tidak kuatir mendapat kritikan dan stereotip negatif sebagai tokoh yang tidak mempunyai pendirian, bunglon bahkan avonturir.

 

Peran ganda dan kemampuan beradaptasi dan mengakomodir itu kadang kala membuat banyak orang salah memahami dan mendepksripsi diri, pemikiran serta sikap-sikap socio-polticnya. 

 

Namun jika disimak dengan seksama, sesungguhnya KH Idham Chalid yang berlatarbelakang guru itu adalah seorang tokoh nasional (bangsa) yang visi perjuangannya dalam berbagai peran selalu berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat dan bangsa.
 

Dengan visi perjuangan seperti itu, pemimpin NU selama 28 tahun (1955-1984), itu berpandangan tak harus kaku dalam bersikap, sehingga umat selalu terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi situasi politik di masa demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila, tidak jarang adanya tekanan keras dari pihak penguasa serta partai politik dan Ormas radikal.

 

Sebagaimana digambarkannya dalam buku biografi berjudul "Idham Chalid: Guru Politik Orang NU" yang ditulis Ahmad Muhajir (Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Juni 2007) bahwa seorang politisi yang baik mestilah memahami filosofi air. 

 

"Apabila air dimasukkan pada gelas maka ia akan berbentuk gelas, bila dimasukkan ke dalam ember ia akan berbentuk ember, apabila ia dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Dan, air selalu mengalir ke temapat yang lebih rendah. Apabila disumbat dan dibendung ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mampu mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia. (Hal 55) 


Sebagai ulama dan politisi pelaku filosofi air, Idham Chalid dapat berperan sebagai tokoh yang santun dan pembawa kesejukan. Apresiasi ini sangat mengemuka pada acara peluncuran buku otobiografi: "Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah", di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis 6 Maret 2008.

 

Buku otobiografi Idham Chalid itu diterbitkan Yayasan Forum Indonesia Satu (FIS) yang dipimpin Arief Mudatsir Mandan, yang juga anggota Komisi I DPR dari PPP, juga selaku editor buku tersebut. Idham Chalid sendiri tengah terbaring sakit di rumahnya Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan.

 

“Saya kira tidak ada tokoh yang bisa seperti beliau. Ketokohannya sangat menonjol, sehingga pernah memimpin partai politik pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP,” kata Wapres Jusuf Kalla mengapresiasi sosok Idham Chalid, saat memberi sambutan pada acara peluncuran buku tersebut.

 

”Beliau itu moderat, bisa diterima di ’segala cuaca’, berada di tengah, oleh sebab itu ia bisa diterima di mana-mana. Ia berada di tengah titik ekstrem yang ada,” ujar Kalla dihadapan sejumlah undangan, antara lain Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, dan sejumlah anggota kabinet dan DPR.

 

Menurut Jusuf Kalla, sikapnya yang moderat hanya bisa dijalankan oleh orang yang santun. "Hanya orang santunlah yang bisa bersikap moderat,” puji Jusuf Kalla untuk menegaskan bahwa Idham Chalid merupakan sosok ulama dan politisi yang moderat dan santun. Itulah sebabnya, ia bisa diterima di berbagai era politik dan kepemimpinan bangsa.
 

Menurut Wapres, jika berada di titik yang sama ekstremnya, maka selain demokrat, sosok politik orang yang menjalani itu sudah pasti santun. ”Karena itu, sikap yang santun bisa menjaga suasana kemoderatan,” katanya. 


Idham Chalid yang memulai karir politik dari anggota DPRD Kalsel, seorang ulama karismatik, yang selama 28 tahun memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada era pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era pemerintahan Soeharto dan mantan Ketua DPR/MPR. Idham juga pernah menjadi Ketua Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai Nahdlatul Ulama dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 


Sementara itu, editor buku, Arief Mudatsir Mandan, mengemukakan, Idham Chalid satu-satunya Ketua Umum PBNU yang paling lama dan bukan ”berdarah biru” NU. Menurutnya, selama kepemimpinan Idham, NU tidak pernah bergejolak. Kendati ia sering dinilai lemah, tetapi sebenarnya itulah strateginya sehingga bisa diterima berbagai zaman,” ujar Arief Mudatsir Mandan.

TAN MALAKA


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir Nagari Pandam 

Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 - wafat Jawa Timur, 21 Februari 

1949 [1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang 

pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang 

militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran 

yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan 

Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh 

revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun 

pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. 

Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan 

kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar 

Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh 

penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas 

disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam 

membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti 

penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi 

nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) 

Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan 

modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

Tokoh ini juga adalah orang yang mendalangi terjadinya pergolakan sosial di 

wilayah Surakarta setelah pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang 

berakibat hilangnya status Daerah Istimewa bagi bekas wilayah Kasunanan 

Surakarta dan Praja Mangkunagaran.Riwayat
Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah 

perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan 

perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal 

pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun 

ke kancah politik
Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan 

partai.
Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.
Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, 

Moskwa dan Belanda.Perjuangan

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan 

semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak 

mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi 

dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam 

pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu 

pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI 

(Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta 

ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, 

jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang 

pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi 

pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah 

sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan 

alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan 

mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, 

bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan 

kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk 

perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk 

mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan 

sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin 

besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat 

Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan 

ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia 

Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran 

sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat 

melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua 

gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan 

simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan 

diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan 

revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia 

tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik 

tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan 

partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan 

pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis 

Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di 

kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian 

tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di 

PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab 

yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya 

memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, 

Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat 

bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu 

itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil 

di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak 

penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik 

ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang 

dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh 

Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan 

mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang 

sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama 

bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan 

beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan 

Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai 

Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis 

"Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual 

di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di 

Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik 

Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington 

merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau 

Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina 

pecah…."Madilog

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu 

bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan 

urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah 

fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang 

pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. 

Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif 

sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah 

bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika 

fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu 

pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat 

menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. 

Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, 

sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara 

tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara 

berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia 

cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang 

kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai 

kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan 

benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, 

sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.Pahlawan

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan 

Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah 

diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di 

Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka 

dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia 

akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari 

hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan 

Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, 

mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela 

Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut 

terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang 

menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas 

perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1].

Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia 

Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa 

Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa 

Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden 

Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan 

kemerdekaan Nasional.

[sunting]
Tan Malaka dalam fiksi

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama 

beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan 

petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan 

kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena 

kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan 

polisi rahasia internasional.

Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona 

yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah 

sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, 

yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.

Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI 

dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), 

Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan 

Soebakat (Soe Beng Kiat).

Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, 

terutama di Sumatera.

Beberapa judul kisah Patjar Merah:
Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)
Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)
Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)
Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)
Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)

[sunting]
Buku
 
Dari Pendjara ke Pendjara
Menuju Republik Indonesia
Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
Madilog
Gerpolek

SOEKARNO


Ir. Soekarno1 (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 

21 Juni 1970 dalam umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang 

menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk 

memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali 

Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan 

Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial 

itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal 

Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar 

tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong 

kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. 

Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang 

anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan 

kepresidenan kepada Soeharto.Latar belakang dan pendidikan

Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden 

Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu 

Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1].

Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. 

Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said 

Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke 

Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat 

Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin 

Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno 

kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School 

(sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, 

Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang 

saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Keluarga Soekarno
Istri Soekarno
Oetari
Inggit Garnasih
Fatmawati
Hartini
Ratna Sari Dewi Soekarno (nama asli: Naoko Nemoto)
Haryati
Putra-putri Soekarno
Guruh Soekarnoputra
Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
Guntur Soekarnoputra
Rachmawati Soekarnoputri
Sukmawati Soekarnoputri
Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)

Masa pergerakan nasional

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. 

Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan 

pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda 

pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia 

Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), 

yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan 

Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan 

oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat 

dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad 

Hassan.

Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.

Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa penjajahan Jepang
 
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur

Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak 

memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" 

keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya 

Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.

Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus 

memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan 

lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk 

menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti 

Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh 

seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya 

disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional 

bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan 

Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan 

Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang 

berbahaya.
 
Soekarno diantara Pemimpin Dunia.JPG

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks 

proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama 

dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan 

sendiri.

Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah 

merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia 

termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk 

menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh 

Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang 

dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang 

kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan 

Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu 

berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang 

sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, 

pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian 

menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat 

Indonesia sendiri.

Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat 

Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam 

kasus romusha.

Masa Perang Revolusi
 
Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang 

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik 

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari 

delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia 

Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan 

Pancasila dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa 

Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta 

dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air 

Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, 

Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta 

segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia 

terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan 

pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak 

dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang 

berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik 

Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan 

tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal 

turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al 

Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat 

oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada 

tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden 

dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat 

menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 

rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata 

lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip 

Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto 

setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga 

berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang 

dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) 

meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir 

Jendral A.W.S Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya 

memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti 

wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku 

kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama 

revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi 

semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara 

dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu 

terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah 

bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik 

Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan 

Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa 

Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden 

Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara 

ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia 

(PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia 

internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta 

adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat 

menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.

Masa kemerdekaan
 
Soekarno dan Joseph Broz Tito

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai 

Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik 

Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri 

RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang 

kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh 

rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 

Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden 

Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan 

Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan 

Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya 

kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan 

rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh 

bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat 

Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya 

sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan 

menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh 

bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di 

kalangan Angkatan Udara.
 
Soekarno dan John F Kennedy

Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia 

Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum 

merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan 

presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan 

Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung 

dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom 

waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan 

imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya 

perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia 

internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama 

Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad 

Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia 

mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat 

jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. 

Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan 

sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih 

dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak 

penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat 

atau mengenal akan Indonesia.
 
Soekarno dan Jawaharlal Nehru

Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia 

internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu 

dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni 

Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao 

Tse Tung (RRC).

Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil 

Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari 

kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan 

separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, 

pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat 

"memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Sakit hingga meninggal Bagian ini membutuhkan pengembangan


Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, 

setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya 

dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, 

karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari 

seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.

Peninggalan Bagian ini membutuhkan pengembangan


Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang 

bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.[2] Penerbitan itu 

bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan "kunjungan 

Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".

Penamaan

Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo.[3] Ketika 

masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang 

Jawa[rujukan?]; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno[rujukan?]. 

Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti 

olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan 

ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam 

tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang 

tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh 

diubah[rujukan?].

Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.

Achmed Soekarno

Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed 

Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke 

Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil 

Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di 

Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama 

keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan 

nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia 

bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.

Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah 

haji.[4]

Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama 

Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang 

melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan 

negara Indonesia oleh negara-negara Arab.

SOEHARTO


Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di 

Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari 

2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua, 

menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa 

pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. 

Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang 

bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini 

menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi 

presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 

1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah 

mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya 

Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia 

merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto 

digantikan oleh B.J. Habibie.

Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa 

kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil 

dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi 

kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, 

dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 

milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena 

kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia 

meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 

Januari 2008.

Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, 

yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang 

Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), 

dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang

Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan 

kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton, 

kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal 

sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok 

dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di 

Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya 

yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret) 

hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai 

simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas 

sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja 

Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.

Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro 

Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir 

dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas 

saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke 

Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat . 

Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di 

Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .

Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala 

yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, 

Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas 

besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto 

diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) 

hingga 1965.

Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat 

mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan 

Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap 

kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh 

Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut 

Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat 

sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya 

kelak.Gerakan 30 September

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, 

Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain 

menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. 

Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala 

Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak 

menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski 

menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam 

peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, 

Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba 

menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk 

menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 

1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan 

Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah 

mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat 

tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang 

berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan 

hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini 

diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 

11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan 

mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan 

keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera 

membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang 

Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S 

(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan 

sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno 

dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik 

Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara 

Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan 

akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan 

pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati 

anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis 

sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan 

terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan 

CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian 

mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia 

dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been 

Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: 

"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka 

mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di 

tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul 

keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State 

Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang 

peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang 

bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka 

membebaskan sumber daya di militer.

Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia 

setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada 

tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.

Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan 

bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat 

buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan 

Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia 

menjadi penentu dalam semua keputusan politik.

Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan 

intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan 

Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam 

pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai 

terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut 

"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).

Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. 

Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto 

mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah 

Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, 

dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya 

alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan 

dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi 

dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 

1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa 

Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".

Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh 

MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat 

sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara 

langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan 

satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi 

salah satu pendiri ASEAN.

Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun 

kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak 

dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini 

adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang 

luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal 

ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai 

asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.

Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai 

asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan 

melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem 

kepartaian.Meredam oposisi

Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution 

menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi 

militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, 

termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi 

sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang 

permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. 

Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan 

Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib 

dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa 

bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan 

rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.

Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya 

NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). 

Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan 

kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang 

diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU 

ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan 

ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin 

pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang 

diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang 

Orde Baru.

Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi 

angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung 

dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik 

pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung 

kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai 

balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak 

pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap 

pemerintahan Orde Baru.

Puncak Orde Baru

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi 

sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat 

dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang 

cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan 

barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga 

mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan 

Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan 

bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) 

yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun 

pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap 

turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor 

Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI 

yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga 

internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. 

Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem 

trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan 

pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi 

perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia 

akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. 

Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada 

tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada 

tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap 

sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang 

mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan 

Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai 

politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai 

Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi 

Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di 

Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan 

sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap 

penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas 

tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam 

perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah 

istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan 

mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai 

ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena 

pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas 

ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan 

politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian 

pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat 

yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan 

dari masyarakat.

Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang 

penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan 

menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. 

Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan 

Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.

Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas 

melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto 

menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi 

kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai 

finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada 

saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi 

berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung 

kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan 

"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, 

dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai 

yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh 

karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai 

Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan 

Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai 

Demokrasi Indonesia.

Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan 

Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni 

Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang 

kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta 

kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang 

campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh 

Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 

Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut 

dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada 

1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan 

nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini 

terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media 

Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah 

pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, 

beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. 

Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan 

yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di 

Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.

Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari 

kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai 

resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai 

tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta 

pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai 

"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
 
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, 

para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan 

pengunduran dirinya di televisi.

Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan: 
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998

Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia 

telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun 

yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika 

ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh 

dan mendetail dari IMF.

Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden 

pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap 

memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 

1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, 

serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto 

mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan 

meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil 

Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.

Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi 

penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini 

merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.

Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto

Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana 

Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial 

(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti 

Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. 

Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. 

Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari 

keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 

2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 

saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang 

pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.

Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah 

terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 

15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, 

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah 

mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan 

Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan 

Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi 

fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu 

dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini 

lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 

2006.Peninggalan

Bidang Politik

Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak 

mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari 

Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham 

komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur 

sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya 

bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente 

/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan 

merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban 

jiwa sipil.[Mei 2008]

Bidang Kesehatan

Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye 

Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki 

secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang 

nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit 

sampai kerusakan lingkungan hidup.

Bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang 

bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada 

awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah 

(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin 

juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 

tahun.

Bidang Perekonomian

Wafat Soeharto
 
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.

Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 

2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak 

Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah 

dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat 

Pertamina (RSPP), Jakarta.

Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran 

Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi 

Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto 

tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat 

kegagalan multi organ.

Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan 

dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan 

yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan 

kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika 

iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan 

seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut 

kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian 

kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan 

Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla 

dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang 

ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 

detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan 

belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji 

Muhammad Soeharto.

Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil 

Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.

Pemakaman

Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan 

Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara 

Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim 
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di 

Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – wafat di Jakarta, 27 Januari 

2008 dalam umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua, 

menggantikan Soekarno, dari 1967 sampai 1998.

Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa 

pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. 

Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang 

bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini 

menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2]

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi 

presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 

1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah 

mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya 

Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia 

merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto 

digantikan oleh B.J. Habibie.

Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa 

kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil 

dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi 

kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, 

dan dianggap sebagai rejim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 

milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena 

kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia 

meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 

Januari 2008.

Soeharto menikah dengan Siti Hartinah ("Tien") dan dikaruniai enam anak, 

yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang 

Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), 

dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).Latar belakang

Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan 

kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan peleton, 

kemudian kompi di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal 

sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok 

dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali kolonialisme di 

Indonesia. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya 

yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret) 

hanya dalam waktu enam jam. Namun gerakan ini cenderung ditafsirkan sebagai 

simbol perjuangan rakyat Indonesia terhadap pasukan Belanda. Penggagas 

sebenarnya serangan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai raja 

Yogyakarta, Gubernur Militer serta Menteri Pertahanan.

Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro 

Jawa Tengah. Pada 1959 dia terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir 

dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[rujukan?]. Namun atas 

saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke 

Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat . 

Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di 

Makassar, di bawah komando Kolonel Alex Kawilarang .

Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala 

yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, 

Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas 

besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto 

diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) 

hingga 1965.

Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat 

mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom yang dilancarkan 

Sukarno pada saat itu, sehingga pecah menjadi dua faksi, sayap kiri dan sayap 

kanan. Soeharto berada di pihak sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh 

Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut 

Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat 

sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya 

kelak.Gerakan 30 September

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, 

Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain 

menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. 

Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala 

Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak 

menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski 

menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam 

peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber mengatakan, 

Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba 

menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk 

menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 

1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan 

Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah 

mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat 

tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang 

berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan 

hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini 

diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 

11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan 

mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan 

keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera 

membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang 

Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S 

(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan 

sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno 

dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik 

Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara 

Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan 

akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan 

pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati 

anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis 

sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan 

terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan 

CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian 

mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia 

dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been 

Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: 

"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka 

mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di 

tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul 

keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State 

Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang 

peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang 

bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka 

membebaskan sumber daya di militer.

Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia 

setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada 

tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.

Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan 

bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat 

buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan 

Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia 

menjadi penentu dalam semua keputusan politik.

Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan 

intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan 

Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam 

pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai 

terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut 

"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).

Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. 

Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto 

mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah 

Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, 

dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya 

alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan 

dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi 

dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 

1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa 

Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".

Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh 

MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat 

sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara 

langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan 

satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi 

salah satu pendiri ASEAN.

Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun 

kemudian meminta nasehat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak 

dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini 

adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang 

luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal 

ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai 

asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.

Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai 

asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan 

melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem 

kepartaian.Meredam oposisi

Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution 

menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi 

militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, 

termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi 

sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang 

permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. 

Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan 

Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib 

dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa 

bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan 

rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.

Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya 

NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). 

Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan 

kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang 

diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU 

ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan 

ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin 

pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang 

diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang 

Orde Baru.

Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi 

angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung 

dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik 

pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung 

kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai 

balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak 

pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap 

pemerintahan Orde Baru.

Puncak Orde Baru

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi 

sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat 

dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang 

cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan 

barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga 

mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan 

Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan 

bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) 

yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun 

pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap 

turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor 

Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI 

yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga 

internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. 

Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem 

trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan 

pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi 

perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia 

akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. 

Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada 

tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada 

tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap 

sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang 

mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan 

Thailand, selain Singapura, Taiwan dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai 

politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai 

Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi 

Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di 

Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan 

sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap 

penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas 

tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam 

perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah 

istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan 

mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU. Berbagai 

ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena 

pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas 

ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan 

politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian 

pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat 

yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan 

dari masyarakat.

Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang 

penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan 

menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. 

Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan 

Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.

Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas 

melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto 

menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi 

kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai 

finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada 

saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi 

berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung 

kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan 

"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, 

dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai 

yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh 

karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai 

Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan 

Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai 

Demokrasi Indonesia.

Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan 

Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni 

Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang 

kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta 

kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang 

campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh 

Indonesia meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 

Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut 

dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.Korupsi menjadi beban berat pada 

1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan 

nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini 

terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media 

Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah 

pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, 

beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. 

Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan 

yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di 

Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.

Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari 

kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai 

resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai 

tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta 

pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai 

"Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).Soeharto turun takhta
 
Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, 

para pendukung revolusi mendapatkan hadiahnya: Soeharto mengumumkan 

pengunduran dirinya di televisi.

Wikisumber memiliki naskah atau teks asli yang berkaitan dengan: 
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998

Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia 

telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun 

yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika 

ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh 

dan mendetail dari IMF.

Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden 

pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap 

memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 

1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, 

serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto 

mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan 

meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil 

Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.

Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi 

penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini 

merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.

Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto

Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana 

Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial 

(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti 

Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. 

Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. 

Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari 

keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 

2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 

saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang 

pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.

Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah 

terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 

15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[1]

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, 

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah 

mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan 

Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan 

Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi 

fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu 

dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini 

lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 

2006.Peninggalan

Bidang Politik

Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak 

mempengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari 

Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham 

komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur 

sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya 

bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente 

/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan 

merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban 

jiwa sipil.[Mei 2008]

Bidang Kesehatan

Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye 

Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki 

secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang 

nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit 

sampai kerusakan lingkungan hidup.

Bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang 

bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada 

awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah 

(Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin 

juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 

tahun.

Bidang Perekonomian

Wafat Soeharto
 
Soeharto di sebuah media massa Malaysia.

Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 

2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak 

Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun jam 13.10 WIB setelah 

dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat 

Pertamina (RSPP), Jakarta.

Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran 

Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi 

Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto 

tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat 

kegagalan multi organ.

Kemudian sekitar pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan 

dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan 

yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan 

kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika 

iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan 

seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut 

kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian 

kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan 

Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla 

dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang 

ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 

detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan 

belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji 

Muhammad Soeharto.

Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil 

Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.

Pemakaman

Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan 

Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 09.00 WIB menuju Bandara 

Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim 

Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana 

Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu 

sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14 

WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di 

liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut 

dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana 

Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu 

sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.14 

WIB bersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di 

liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut 

dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.